Oleh: Bokiraiya Latuamury
Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura
Permasalahan sumberdaya air (SDA) di pulau kecil menjadi isu kritis karena keterbatasan sumberdaya alam berupa sumber air tawar (baik kuantitas dan kualitas), intrusi air laut, curah hujan yang tidak teratur, polusi dan kontaminasi sumber air.
Termasuk juga minimnya infrastruktur pengelolaan air, risiko bencana alam, isu-isu kesetaraan gender dan inklusi sosial (GEDSI) serta kurangnya kebijakan dan tata kelola yang efektif dan efisien.
Isu kesenjangan akses air di pulau kecil dari perspektif gender, disabilitas dan inklusi sosial adalah fenomena yang mencerminkan ketidaksetaraan yang dialami kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok miskin dan terpinggirkan.
Dalam konteks pulau kecil yang rentan terhadap perubahan iklim, keterbatasan SDA memperparah ketimpangan ini. Perempuan sebagai pengelola air rumah tangga, harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengumpulkan air, yang menghalangi peluang terhadap pendidikan dan ekonomi.
Baca juga: Akademisi: Tata Kelola Air dan Transportasi Jadi Permasalahan Krusial Jakarta
Sementara penyandang disabilitas seringkali kesulitan mengakses fasilitas air yang aman dan layak karena minimnya infrastruktur yang ramah disabilitas. Sedangkan kelompok miskin dan terpinggirkan seringkali tinggal di wilayah yang terpencil.
Wilayah yang secara umum infrastruktur air sangat minim, sehingga butuh biaya untuk memeroleh air bersih bahkan cenderung mengandalkan pasokan dari luar pulau atau membeli air dari wilayah lain. Singkatnya,kesenjangan ekonomi memperburuk akses air.
Pendekatan GEDSI menempatkan inklusi sosial sebagai prioritas dengan memastikan bahwa kelompok rentan seperti masyarakat adat, penduduk miskin, dan minoritas sosial memeroleh akses yang setara terhadap air bersih.
Pendekatan inklusi sosial juga menekankan pentingnya partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam proses pengelolaan air. Karena melibatkan masyarakat lokal, implementasi cenderung efektif dan berkelanjutan karena mereka memahami konteks sosial dan geografis wilayahnya.
Selain itu partisipasi lokal membantu mendorong rasa memiliki terhadap proyek air dan meningkatkan keberhasilan serta keberlanjutan dari inisiatif-inisiatif tersebut.
Inklusi sosial harus menghargai kearifan lokal dan norma budaya yang ada dalam konteks lokal. Dalam banyak kasus, masyarakat memiliki sistem tradisional atau mekanisme lokal yang efektif dalam mengelola sumberdaya air.
Pendekatan GEDSI mendukung pengakuan atas sistem-sistem ini dan memadukannya dengan pendekatan modern, sehingga kebijakan air menjadi lebih relevan dan mudah diterima oleh masyarakat.
Ramah disabilitas
Bagi penyandang disabilitas, strategi GEDSI memastikan bahwa sistem pengelolaan air dan infrastrukturnya didesain ramah terhadap disabilitas, fasilitas air bersih yang mudah dijangkau, serta layanan pemeliharaan air yang mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas.
Pendekatan GEDSI mendukung keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam proses-proses membangun kapasitas formal dan informal, guna memastikan bahwa perspektif mereka diakomodasi dalam kebijakan yang diambil.
Salah satu tata kelola lokal ini adalah sistem irigasi Subak di Bali, yakni sistem pengelolaan air tradisional yang melibatkan seluruh anggota komunitas dalam perencanaan dan pengelolaan sumber air irigasi.
Dengan prinsip demokratis dan kolektif, Subak menjadi model tata kelola air yang berbasis nilai sosial dan lingkungan. Sistem ini menjaga distribusi air yang merata, memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan berkontribusi terhadap konservasi budaya lokal.
Solusi yang relevan lain untuk wilayah bercurah hujan musiman atau wilayah dengan sumber air tawar terbatas adalah sistem pemanenan air hujan. Dengan teknologi sederhana, penyimpan air hujan dilakukan untuk keperluan harian seperti minum, memasak, mencuci, dan irigasi.
Baca juga: Investasi Masa Depan yang Lebih Sehat, Telkom Salurkan Bantuan Sanitasi Air Bersih
Beberapa program tata kelola air juga fokus pada pemulihan dan perlindungan SDA alamiah sehingga mendukung keseimbangan ekologis sekaligus meningkatkan pasokan air yang berkelanjutan bagi komunitas.
Salah satu contohnya adalah restorasi Danau Faunil di Tual, Maluku Yang melibatkan masyarakat lokal dalam pemulihan dan perlindungan danau sebagai SDA bersih. Kegiatan ini mencakup pemulihan kualitas air, restorasi kawasan danau, serta pengelolaan partisipatif untuk ketersediaan air bagi generasi mendatang.
Teknologi dan Kebijaksanaan
Tidak bisa dimungkiri program pengelolaan air membutuhkan sentuhan teknologi inklusif (aplikasi ponsel cerdas, sensor, atau jaringan IoT) yang memastikan bahwa air dapat dikelola secara lebih efisien dan inklusif.
Salah satu program yang relevan misalnya aplikasi WaterForAll di Afrika Sub-Sahara, untuk memantau, melaporkan ketersediaan air bersih di wilayah mereka, memberikan informasi terkait kebijakan air lokal dan memungkinkan kelompokrentan untuk berpartisipasi dalam pelaporan masalah air.
Ada pula konservasi air melalui teknologi hemat air dalam rumah tangga, pertanian dan industri dapat mengurangi tekanan terhadap SDA, serta meningkatkan efisiensi dalam penggunaan air di sektor yang rakus air.
Kampanye edukasi dan penyadaran publik tentang hemat air adalah kunci untuk menciptakan budaya penggunaan air yang efisien melalui sekolah, komunitas lokal hingga pelibatan sektor swasta (inisiatif Corporate Social Responsibility) untuk berkolaborasi dalam mengurangi penggunaan air berlebihan.
Satu contoh kegiatan yang berhasil adalah program hemat air Water Conservation Awareness Campaign di Australia ketika negara itu mengalami periode kekeringan parah.
Terdapat juga solusi berbasis alam (nature-based solutions) seperti membangun ruang terbuka hijau dan taman kota untuk menyerap air hujan secara alami, misalnya Taman Kota Multifungsi di Rotterdam, Belanda sebagai taman kota dan sebagai penampung air hujan untuk mencegah banjir.
Menariknya air yang ditampung itu digunakan untuk penyiram taman selama musim kering, yang menunjukkan bahwa tata kelola air berbasis ekosistem dapat berfungsi ganda dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Ada juga teknologi pengolahan air yang fokus pada pengembangan teknologi pengolahan air yang terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat miskin atau daerah terpencil. Salah contohnya filter air sederhana atau bioteknologi pembersih air.
Contohnya program BioSand Filter di Afrika Timur, yang terbuat dari bahan lokal dan mudah digunakan oleh masyarakat untuk menyaring air kotor menjadi air layak minum tanpa memerlukan listrik atau bahan kimia, jadi solusi mengurangi penyakit yang disebabkan oleh air kotor di komunitas tanpa akses ke air bersih.
Singkatnya, program dan solusi yang relevan, efektif dan berkelanjutan dalam tata kelola SDA harus mengintegrasikan pendekatan berbasis komunitas, teknologi inovatif, serta praktik ramah lingkungan.
Pendekatan yang inklusif juga penting untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rentan, memiliki akses yang adil dan setara terhadap SDA yang berharga.