TRIBUNNEWS.COM - Mafia pulsa listrik yang ditudingkan Menko Kemaritiman dan ESDM Rizal Ramli diakui masyarakat sangat menyusahkan.
Apalagi, kelompok masyarakat kecil yang selama ini terdampak kenaikan tarif listrik.
Setiap hari, Nasiun harus rutin memeriksa "meteran" token miliknya, agar listrik bisa terus mengalir.
Untuk keperluan listrik ini, warga di kawasan Berdikari, Rawabelong, Jakarta Barat, harus merogoh kocek cukup dalam.
Di rumah mungilnya, sebenarnya Nasiun tidak banyak menggunakan peralatan elektronik.
Kipas angin untuk mencegah anak bayinya kegerahan, memang kerap menyala.
Sebagai hiburan, televisi berlayar kecil terkadang menyala.
Untuk keperluan dapurnya, sang istri pun menggunakan kulkas dan penanak nasi elektronik.
Namun, dengan biaya yang dikeluarkannya saat ini, biaya listrik sangat memberatkan.
'Token lebih boros'
Kebijakan PLN yang mewajibkan para pelanggannya untuk menggunakan pulsa listrik sebagai metode pembayaran hanya membuat repot dan merugikan warga.
Pasalnya warga harus mengeluarkan dana lebih dari apa yang diperoleh.
Pelanggan hanya mendapatkan Rp 35 ribu dari pulsa listrik senilai Rp 50 ribu.
Begitupun halnya ketika membeli pulsa listrik Rp 100 ribu, pelanggan hanya memperoleh Rp 85 ribu.
>