News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Musim Kemarau Panjang

Kekeringan Melanda Warga Desa di Jambi Pakai Air Kolam Pemancingan

Editor: Bian Harnansa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Laporan Wartawan Tribun Jambi, Eko Prasetyo

TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Kemarau panjang yang melanda Kota Jambi cukup keras dirasakan warga Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi selama sebulan lebih harus merasakan kekeringan dan krisis air bersih.

Sumur pun kering kerontang, hanya pasir yang didapat ketika menimba, bahkan sesekali harus membeli air galon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, masak hingga buang air kecil.

Hingga membuat warga Desa Pondok Meja mengambil air di kolam pemancingan Sri Indah Jambi yang berada di dekat Diler Toyota Agung Auto Mall Pall 10, Jambi.

Pantauan Tribun Jambi di kolam pemancingan tersebut, Rabu (9/9) terlihat aktivitas sejumlah warga mengambil air dengan jeriken dengan cara mencelupkannya ke dalam kolam tersebut.

Kondisi kolam pemancingan yang berlumpur dan air yang kuning seakan tak dihiraukan warga karena merasa sangat membutuhkan air.

Satu diantara warga Desa Pondok Meja yang mengambil air di kolam pemancingan tersebut adalah, Suhaimi. Setiap hari, dirinya harus mengangkat 12 jeriken air yang didapatnya dari kolam pemancingan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Ia mengangkut air menggunakan sepeda motornya, dalam sekali angkut bisa sampai empat buah jeriken dengan tiga kali trip angkutan, pasalnya jarak kolam hingga ke rumahnya cukup jauh.

Warga cukup prihatin dengan kondisi yang mereka alami tersebut, karena air tersebut dinilai tak layak digunakan karena merupakan kolam ikan, namun seakan tak ada pilihan lain karena kemarau ini.

“Warga ngambil airnya itu setiap pagi dan sore. Sekitar pukul 5 pagi di sini sudah ramai, lalu sore hari juga ngambil air. Ngambil pagi untuk kebutuhan jelang kerja dan, dan ngambil yang sore untuk kebutuhan malam dan besok paginya. Tapi pagi harus ngambil lagi,” ujarnya kepada Tribun Jambi.

Suhaimi mengatakan, air yang didapatnya dari kolam tersebut dimasukkan ke dalam derum dan langsung digunakan untuk keperluan mandi, mencuci pakaian, buang air.

“Kecuali untuk masak dan minum, kami masih pakai air sumur yang sudah hampir kering,” katanya.

Sebelum mengambil air dari kolam tersebut, dirinya menggunakan air galon untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan harga Rp 3 ribu per galonnya dirasa mahal karena harus mengeluarkan uang setiap hari untuk membeli air.

“Kini warga sudah jarang beli air galon, karena biaya yang harus dikeluarkan setiap harinya cukup besar, ajdi beralih ke kolam pemancingan yang sudah tidak dipakai ini,” lanjut Suhaimi.

Seperti halnya Suhaimi, wagra Desa Pondok Meja lainnya, Dedi mengatakan, kekeringan yang dirasakan satu bulan lebihmembuat dirinya ikut mengambil air di kolam tersebut.

“Air PAM pun tidak bisa masuk ke desa kami, mungkin karena aksesnya sudah masuk wilayah Muaro Jambi. Kebanyakan warga tahu kolam tersebut karena awalnya banyak orang yang ngisi air disitu, jadi kami warga Desa Pondok Meja ikut mengambil disitu juga,” ujarnya.

Dikatakan Dedi, selama satu bulan ini, warga rutin mengambil air di kolam tersebut. Kini air kolam semakin menipis seiring ramainya warga yang memanfaatkan air kolam itu. “Tadinya air kolam cukup jernih, kini sudah mulai menguning. Khawatir air kolam habis dan kering,” lanjut Dedi.

Ia mengharapkan kepada pemerintah untuk memberikan perhatian kepada warga yang dilanda kekeringan, khususnya warga Desa Pondok Meja.

“karena desa kami rata-rata dilanda kekeringan. Sumur yang dimiliki warga pun merupakan jenis sumur penampung hujan, bukan mata air. Kalaupun ada airnya hanya keluar sedikit, itu hanya untuk kebutuhan makan dan minum. Sumber air kolam semakin menipis seiring banyaknya warga yang mengambil air disitu, bahkan airnya semakin keruh. Jadi Kami agak khawatir kalau air kolam habis,” tuturnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini