TRIBUNNEWS.COM, LUMAJANG - Polisi menggeledah rumah Kepala Desa Selok Awar-Awar, Hariyono.
Penggeledahan dilakukan sebagai bagian dari penyidikan polisi atas kasus pembunuhan Salim Kancil, aktivis anti-tambang di Lumajang, Jawa Timur.
Seperti diketahui, enam orang warga Desa Selok Awar-Awar rupanya menjadi target penganiayaan di hari berdarah, Sabtu (26/9/2015) pagi.
Keenam orang itu yang selama ini getol menyuarakan penolakan tambang pasir di Pantai Watu Kecak.
Sebenarnya bukan hanya enam orang itu yang menolak tambang, namun sejumlah warga lain di desa itu.
Namun satu kelompok yang menyebut dirinya Tim 12 menuding enam orang itu menjadi "pengganggu" dalam penambangan pasir.
Mereka berkirim surat ke sejumlah instansi termasuk Kementerian Lingkungan Hidup.
Para penggerak penolakan tambang itu juga beberapa kali mengajak warga memblokade jalan keluar masuk truk pasir.
Keenamnya adalah Tosan, Iksan, To Hamid, Sapari, Salim Kancil, dan Ansori.
Keenam orang itulah yang pagi itu digilir oleh gerombolan orang.
Penyisiran rumah dan rencana penganiayaan dilakukan karena warga hendak berdemo pukul 09.00 WIB.
Sekelompok orang mendatangi rumah keenam orang itu satu per satu.
Penyisiran layaknya operasI perang dimulai dari rumah Tosan di Dusun Persil.
Ketika itu Tosan berada di depan rumahnya.
Warga memukuli Tosan, namun Tosan berhasil kabur.
Ia hanya bisa kabur sampai ke tanah lapang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Di tempat itu ia dianiaya secara sadis.
Gerombolan orang itu bahkan melindas tubuh Tosan memakai sepeda motor.
Aksi massa itu terhenti ketika ada warga yang berani melerai.
Massa berhenti menyiksa Tosan. Kemudian massa bergeser ke rumah Iksan atau Pak San yang juga warga Dusun Persil.
Massa tidak berhasil menyiksa Pak San karena beberapa orang sudah bersiap membela Pak San di depan rumahnya.
Gerombolan massa itu akibarnya mundur.
Mereka kemudian bergeser ke rumah To Hamid di Dusun Krajan II. Hamid selamat karena ia tidak ada di rumah.
Massa kemudian menyisir rumah Sapari di Dusun Krajan I.
Sapari merupakan kakak Salim Kancil.
"Mereka sudah mendobrak pintu rumah saya. Tetapi saya tidak ada di rumah, ke sawah," ujar Sapari.
Tidak menemukan Sapari, massa bergerak ke rumah Salim Kancil.
Mereka menggedor rumah Salim dan memintanya keluar.
Salim keluar bersama sepeda motor. Anak lelakinya, DEP melihat peristiwa itu.
Massa mengikat tangan Salim dan memukulinya.
DEP diancam tidak boleh berteriak. Anak usia 13 tahun itu hanya terdiam ketakutan melihat ayahnya disiksa.
"Ketika itu sekitar sini sepi. Saya sudah berangkat mencari rumput. Begitu juga warga sekitar sini. Bapak saya di rumah sama menjaga anak saya," ujar anak perempuan Salim, Ike Nurila.
Salim dianiaya sambil dibawa menuju Balai Desa.
Selama perjalanan sekitar 1,5 km itu, tubuh Salim yang sudah lemas terjatuh 3 kali dari sepeda motor.
"Tidak ada yang berani menolong," imbuh Ike.
Seperti ditulis sebelumnya, Salim kemudian dianiaya di balai desa dan di jalan ke makam sampai tewas dan dibuang begitu saja di tengah jalan.
Ia juga sempat disetrum di balai desa. Sejumlah anak TK dan PAUD melihat penyiksaan itu.
"Dari rumah Salim sebenarnya orang-orang itu akan ke rumah Ansori. Tetapi tidak jadi karena sudah selesai di sini," ujar Mulyadi, sepupu Salim.
Kasus itu akhirnya meletus dan menjadi atensi banyak pihak. Warga yang menolak tambang mulai berani muncul meskipun diliputi rasa takut dan was-was. Mereka berani bersuara namun takut hidup mereka terancam.
Sebab warga sebenarnya sejak lama menyuarakan penolakan tambang itu.
Penambangan memakai alat berat berjalan tiga tahun terakhir.
Tahun 2014 lalu, warga berdemo di Watu Pecak agar penambangan dihentikan.
"Tetapi kami didatangi orang-orang itu. Mereka datang sambil mengacung-acungkan celurit, mengancam kami. Kami otomatis berlarian bahkan sampai terkencing-kencing," ujar seorang perempuan yang enggan namanya disebut.
Perempuan itu bersama warga lain menolak penambangan pasir.
Mereka juga bersyukur orang-orang yang mengancam mereka kini ditahan.
"Ditahan terus saja biar kami aman," tegasnya.
Sedangkan Ike berharap para pembunuh ayahnya dihukum hukuman mati juga.
"Kami ingin mereka dihukum mati karena telah mencabut nyawa ayah saya," tegas Ike. (*)
>