Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Niko Ruru
TRIBUNNEWS.COM, NUNUKAN - Masintan (50), tampak menyusun satu persatu ikan Pepija basah yang sudah dibelah.
Daging ikan yang setelah dibelah selebar dua telapak tangan orang dewasa ini, diaturnya dengan rapi di tempat penjemuran yang terbuat dari jaring tembaga dengan rangka kayu.
Setelah ikan bergaram yang diletakan dalam sebuah wadah habis, tempat penjemuran itu pun didirikan untuk mendapatkan penyinaran matahari.
“Kalau dilihat begini tebal dagingnya. Karena lembek betul dagingnya, tidak bisa langsung dimasak. Kalau kering barulah,” ujar warga Desa Binalawan, Kecamatan Sebatik Barat ini.
Bahan ikan yang dijemur Masintan setelah kering, menjadi ikan asin tipis. Warga setempat lebih populer dengan sebutan Ikan kerupuk.
Bahan ikan ini diperoleh para lelaki di desa tersebut dari melaut di Perairan Karang Unarang, Ambalat di perbatasan Republik Indonesia-Malaysia.
Dalam sebulan, kata Masintan, para nelayan dua minggu melaut.
“Empat hari atau lima hari dalam seminggu turun di laut. Seminggu libur baru seminggu turun lagi,” ujarnya.
Selama tiga hari penjemuran, Masintan mengaku bisa mendapatkan lebih sepuluh kilogram ikan tipis yang telah kering.
“Sering banyak juga. Kalau matahari bagus kan, bisa satu hari saja kering. Kalau musim hujan itu yang banyak jelek,” ujarnya.
Setelah kering, ikan-ikan tipis inipun siap dikemas. Dalam kemasan plastik berukuran sedang, ikan tipis seberat setengah kilogram dihargai Rp 40 ribu.
“Kalau ambil dua plastik, sekilogram harganya Rp 80 ribu,” kata salah seorang pedagang.
Dalam sehari, para pedagang bisa menjual hingga 10 kilogram ikan tipis. Namun seringkali pula, tak sekilogrampun terjual dalam sehari.
“Tergantung orang yang datang. Biasa banyak yang beli, biasa tidak ada sama sekali,” kata Masintan.