TRIBUNNEWS.COM -- Sepintas, situs ini seperti mainan anak-anak raksasa yang tertinggal di tengah lapangan.
Balok-balok batu besar yang berdiri di sana sini dan dihubungkan satu sama lain dengan balok melintang, persis seperti balok-balok yang disususn oleh anak-anak yang belajar membuat rumah-rumahan.
Tapi tumpukan batu ini bukan sembarang tumpukan, oleh beberapa sarjana, Stonehenge—nama tumpukan batu itu—disebut sebagai peramal gerhana matahari di zaman purba.
Sekarang situs ini memang terlihat seperti batu-baru yang berserakan.
Namun monumen-monumen ini dulu merupakan lingkaran batu berjajar-jajar; di dalamnya terdapat batu-batu lain yang diatur seperti tapak kuda yang membuka ke arah timur.
Pada hari terpanjang di musim panas, bila kita berdiri di titik pusat lingkaran, kita akan melihat matahari terbit persis melalui “Heel stone”, sebuah batu yang terletak di luar lingkaran.
Sampai akhir abad ke-19, para sarjana masih bimbang siapa pendiri monumen itu dan apa tujuannya.
Ada yang bilang dibuat oleh para pendatang dari Normandia, Denmark, atau Rum, sedangkan yang lain mengatakan batu-batu itu bekas istana Raja.
Dari perhiasan dan barang-barang pejah belah yang ditemukan, dapat diambil kesimpulan bahwa Stonehenge dibangun di antara Zaman Baru dan Zaman Perunggu.
Sebelum abad ke-20, pendapat tentang tujuan dan terjadinya bangunan Zaman Perunggu ini masih agak kabur.
Baru pada 1901, Sir Norman Locker, seorang ahli bintang Inggris, memberi petunjuk yang masuk akal.
Ia menemukan bahwa garis yang menghubungkan titik pusat Stonehege dengan Heel stone tepat menunjukan ke arah matahari terbit.
Sekarang, jika dilihat dari titip pusat Stonehenge, terbitnya memang agak ke kiri dari batu ‘Heel stone’ itu, karena jalur perjalanan matahari agak berubah.