Laporan Wartawan Tribun Lampung, Wakos Reza Gautama
TRIBUNNEWS.COM, BANDAR LAMPUNG - Kesedihan menggelayuti perasaan Purwadi (28) bersama istrinya, Lusi Andira (21). Asyifa Naqiah Rahmani, anak pertama mereka divonis mengidap penyakit atresia bilier. Satu-satunya jalan menyelamatkan anaknya hanya cangkok hati.
Purwadi kehabisan akal mencari pendonor untuk melakukan cangkok hati. Karenanya, ia rela mendonorkan hatinya untuk kesembuhan sang buah hati.
Namun, masalah tak berhenti di situ. Sebagai buruh tani, ia tak sanggup membiayai operasi pencangkokan hati.
Usia Asyifa masih tujuh bulan. Tidak ada yang aneh ketika bocah itu lahir 4 Agustus 2015. Beranjak dua bulan, gejala itu muncul.
“Matanya kuning, air seninya kuning,” kata Lusi, Selasa (15/3/2016).
Purwadi dan Lusi membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM). Dari hasil medis, diketahui Asyifa menderita penyakit atresia bilier.
Atresia bilier adalah keadaan yang terjadi pada bayi baru lahir. Saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Itu terjadi karena penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Belum diketahui penyebab penyakit ini. Kondisi ini ditemukan pada satu dari 1.500 kelahiran. Kasus yang paling menyita perhatian adalah pada bayi bernama Bilqis Anindya Passa.
Dokter kemudian merujuk Asyifa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Purwadi dan Lusi lantas memboyong Asyifa dari Dusun Kampung Baru, Desa Sidosari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, ke Jakarta.
Menurut Purwadi, ia bersama istri dan Asyifa berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak Desember 2015 lalu.
Beruntung rumah sakit menyediakan rumah singgah bagi para pasien yang berasal dari luar kota sehingga Purwadi tidak perlu membayar biaya tempat tinggal.
Purwadi menceritakan, dokter RSCM mendiagnosa anaknya mengidap penyakit atresia bilier. Berdasarkan keterangan dokter, tutur Purwadi, anaknya bisa disembuhkan dengan cangkok hati. Purwadi sanggup menjadi donor hati.
Kesanggupan dan niat saja belum cukup. Ada biaya yang sangat tinggi untuk pelaksanaan cangkok hati. Estimasi biaya bisa mencapai Rp 900 juta hingga Rp 1 miliar lebih. Besaran yang tentu saja tidak bisa digapai oleh Purwadi yang hanya bekerja sebagai buruh tani.
Sebelum cangkok hati, ada proses screening. Pendonor mesti menjalani proses screening untuk mengetahui layak tidaknya menjadi pendonor. “Proses screening ini saja butuh uang Rp 60 juta,” kata Purwadi.
Karena tidak memiliki uang, proses screening Purwadi sebagai calon pendonor terhambat. Purwadi menunggu kebaikan hati para dermawan untuk membantunya agar bisa melakukan screening.
"Syukur-syukur bisa sampai pencangkokan," ucapnya.
Selama menunggu cangkok hati, Asyifa perlu nutrisi untuk menjaga tubuhnya. Nutrisi itu, kata Lusi, didapat dari susu pregestimil. Harga per kalengnya mencapai Rp 270 ribu hingga Rp 300 ribu. Satu kaleng, kata Lusi, hanya cukup untuk dua hari.
Tiga bulan terakhir ini, Lusi beruntung karena ada donatur di RSCM yang membantu membelikan susu pregestimil untuk Asyifa.
“Saya tidak tahu ke depannya seperti apa. Kami sangat butuh bantuan untuk Asyifa,” kata Lusi.(*)