News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kilas Sejarah

Muradi dan Pasukannya Dihukum Mati di Pantai Ancol

Penulis: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Muradi, rekan Supriyadi dalam memimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) Blitar, bersama pasukannya dihukum mati di Pantai Ancol oleh Kenpeitai (Pengadilan Militer) Tentara Kekaisaran Jepang, pada 16 Mei 1945. 

Sebelumnya pada 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan.

Supriadi, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini.

Muradi tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir.

Mereka pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kempeitai, diadili dan dihukum mati dengan cara dipenggal sesuai hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol).

Sebelum Proklamasi Kemedekaan

Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 1945, atau setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

PETA adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan Oktober 1943.

Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba.

Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor.

Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.

Nurani para komandan muda itu tersentuh melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang.

Dalam buku "Tentara Gemblengan Jepang" yang ditulis Joyce L. Lebra dan diterjemahkan Pustaka Sinar Harapan pada 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.

Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih untuk pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan.

Tujuannya untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.

Walaupun rencana pemberontakan telah dipersiapkan secara baik, akan tetapi terjadi hal yang tidak diduga.

Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar.

Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Supriyadi dan kawan-kawan.

Alkisah, ketika Sukarno pulang ke Blitar, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya.

"Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi.

Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya.

"Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya," ujar Bung Karno.

"Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi."

Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, "Saya menjamin. Kita akan berhasil!".

Tepat 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang.

Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin.

Akan tetapi kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA.

Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang.

Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta.

Enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.

Diangkat Menteri Namun Tak Muncul

Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi yang menghilang, diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama.

Namun, Supriyadi tearnyata tidak pernah muncul hingga saat pelantikan para menteri.

Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar tidak muncul lagi, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui jasa-jasa Supriyadi dan mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. (sejarahtanahair/ss/indrasr/wikipedia)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini