Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ketika Panas Bumi Jadi Idola Pemerintah

TARIK ulur subsidi bahan bakar minyak kerap dilakoni pemerintah Indonesia. Tarik ulur ini akan semakin panas, bila harga minyak dunia meroket.

Penulis: Ade Mayasanto
zoom-in Ketika Panas Bumi Jadi Idola Pemerintah
Tribun Pekanbaru/ Vlad
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium alias Bensin, dalam beberapa hari ini semakin parah. Minggu (6/3/2011) hampir semua SPBU kosong di Pekanbaru. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ade Mayasanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - TARIK ulur subsidi bahan bakar minyak kerap dilakoni pemerintah Indonesia. Tarik ulur ini akan semakin panas, bila harga minyak dunia meroket. Buntut dari lonjakan harga minyak dunia, harga bakar minyak nonsubsidi jenis pertamax ikut terkerek naik.

Atas kenaikan harga pertamax ini, mirisnya di Indonesia justru memicu tingkat konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, khususnya premium. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan harga premium bersubsidi dengan pertamax.

Saat ini premium masih dijual dengan harga  Rp 4.500 per liter. Bandingkan dengan harga pertamax yang mengalami lonjakan harga pada Minggu (15/5) lalu. Data Pertamina melalui situsnya, kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi jenis pertamax naik sekitar Rp 200 per liter di sebagian wilayah Indonesia.

Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, disebutkan harga pertamax naik Rp 9.050 menjadi Rp 9.250 per liter. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, harga pertamax naik dari Rp 9.359 menjadi Rp 9.550 per liter. Dan di Sulawesi Utara, naik dari Rp 9.750 menjadi Rp 9.950 per liter.

Dengan perbedaan harga yang mencapai lebih dari 100 persen tersebut, pemerintah Indonesia mesti berjibaku untuk menjaga konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi tak membengkak. Apalagi, ditengarai ada pihak-pihak yang mencari untung atas lonjakan harga minyak dunia ini. Mereka menyelundupkan BBM bersubsidi ke luar negeri atau ke industri.

Aksi penyelundupan BBM bersubsidi sempat ditemukan pada 2010 lalu. Pemerintah sempat menemukan 600 kasus penyalahgunaan pendistribusian BBM bersubsidi. Atas temuan tersebut, sejauh ini belum ada perhitungan kerugian atas penyalahgunaan BBM bersubsidi. Namun, bila satu stasiun pengisian bahan bakar umum ada lima ton BBM yang disalahgunakan, dan subsidi pemerintah Rp 4.500, maka kerugian negara yang ditanggung mencapai Rp 22,5 juta per hari, dan sebulan bisa menggapai Rp 675 juta.

BERITA TERKAIT

 Atas tarik ulur harga BBM ini, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk tidak mengandalkan energi fosil. Pemerintah dan masyarakat mencari terobosan mendapatkan energi terbarukan.. 

Salah satu energi terbarukan yang sempat menjadi bahan pembicaraan adalah energi yang berbasis dari biji tanaman jarak. Dari biji tanaman jarak, diketahui bisa menghasilkan minyak jarak yang menjadi alternatif energi. Minyak mentah jarak dapat digunakan sebagai bahan bakar lampu minyak dan kompor. Sementara ampas atau kulit jarak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan briket.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan sempat kepincut atas potensi minyak jarak sebagai sumber pengganti BBM di masa depan. SBY sempat berencana membangun Desa Mandiri Energi di Tangunharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sayang, upaya yang dilakoni sejak Februari 2007 tak berbuah manis.

Kegagalan ini tidak terlepas dari melorotnya harga minyak dunia. Harga minyak jarak yang sebelumnya kompetitif, dan memiliki potensi besar meraup untung lebih, justru loyo seiring membaiknya harga minyak dunia. Banyak petani beramai-ramai membabat tanaman jarak sejak 2009, setelah harga biji jarak basah anjlog di kisaran Rp 600 per kilogram.

Kini setelah proyek biji jarak berlalu, sejumlah mata memalingkan perhatian pada energi yang bersumber dari panas bumi. Iklim Indonesia yang tropis menjadi modal lebih, energi bersumber panas bumi dikembangkan di Indonesia.

Dikabarkan, bila lingkungan Indonesia terjaga keseimbangannya, potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 27-29 Gw atau setara dengan sekitar 12 miliar barel minyak bumi. Ini cukup untuk pengoperasian 30 tahun.

Melihat besarnya potensi energi panas bumi, pemerintah pun berminat mengembangkan proyek panas bumi untuk listrik dengan daya 9.500 Mw atau setara lima persen dari kebutuhan pembangkit listrik pada tahun 2025. Rencana pemerintah tersebut tetuang dalam Perpres No. 5 tahun 2006 perihal Kebijakan Energi Nasional.

Tak mau tanggung-tanggung, pemerintah menerbitkan juga Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi.

Informasi yang dihimpun, Ditjen EBT dan KE Kementerian ESDM menetapkan regulasi usaha panas bumi dengan porsi penguasaan sumber daya oleh negara. Bukan hanya itu, operator dilakukan oleh pemegang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) atau kontraktor.

Selain itu, penetapan wilayah kerja ditentukan pemerintah, dan izin usaha akan diterbitkan sesuai kewenangan wilayah. Bila berlokasi di kabupaten, kewenangan dipegang Bupati. Bila lokasinya lintas kabupaten, kewenangan diambil Gubernur. Bila lintas provinsi, Menteri ESDM yang memangku kewenangan.

Hal terpenting yang diatur dalam regulasi usaha panas bumi adalah efisiensi pengusahaan atau penetapan harga jual senilai 9,7 sen dolar AS per KWH,  dan menjamin perlindungan konsumen serta memfasilitasi hubungan komersial.

Tidak hanya itu, pemerintah pada Februari 2011 lalu juga telah memberikan insentif atas pengembangan energi panas bumi. Pemerintah menyediakan insentif fiskal berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta panas bumi selama 2011 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011.

Insentif ini diberikan mengingat modal awal eksplorasi panas bumi, tidaklah sedikit dibanding berbisnis energi fosil. Pemerintah setidaknya membutuhkan investasi 30 miliar dolar AS atau sekitar Rp 270 triliun untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga 2025.

Kendati sejumlah kemudahan telah diberikan pemerintah, investor belum juga berbondong-bondong menanamkan investasi di sektor panas bumi. Atas hal ini, Kementerian ESDM membuat gebrakan baru. Kementerian ESDM mengajukan amandemen Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ke Komisi VII DPR. Pemerintah menilai, UU tersebut menjadi batu sandungan investor lantaran tidak mengakomodasi pengembangan usaha panas bumi di WKP yang berada di kawasan hutan lindung, hutan konversi, taman buru, hutan produksi, taman nasional dan hutan suaka alam. Alasannya, panas bumi tidak akan maksimal bila dilakukan di kawasan hutan.

Masalah bukan hanya soal WKP di kawasan hutan. Masalah baru yang dihadapi adalah menyangkut beban biaya pemanfaatan panas bumi yang ternyata meningkat di atas batas maksimum. Apalagi, PLN tidak mau membeli energi panas bumi bila melebihi patokan harga jual sebesar 9,7 sen dolar AS per KWH.

Masalah daya saing soal harga, lagi-lagi menjadi masalah industri terbarukan dengan harga bahan bakar atau listrik yang bersumber dari energi fosil. Hingga kini, pemerintah pun belum ada tanda-tanda akan menaikkan harga patokan pembelian energi panas bumi. Akankah energi panas bumi bakal bernasib sama seperti energi biji jarak yang mati suri di tengah angan-angan melupakan energi fosil ?

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas