Indofarma Tunda Ekspansi Pabrik
Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS berpotensi merontokkan bisnis farmasi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS berpotensi merontokkan bisnis farmasi. Tak terkecuali PT Indofarma Tbk. BUMN farmasi ini sudah sudah membuat daftar rencana bisnis untuk mengantisipasi pergerakan kurs rupiah yang dikhawatirkan terus melandai.
John Sebayang, Direktur Keuangan Indofarma mengatakan, perusahaan harus menghitung ulang harga jual, kebutuhan produksi, dan target margin yang bisa dicapai. Pasalnya, kurs rupiah yang menjadi acuan Indofarma senilai Rp 10.000 per dollar AS.Sedangkan, kini nilai tukar rupiah sudah mendekati level Rp 11.000 per dollar AS.
Menurut John, ketika rupiah bertengger di posisi Rp 10.500 per dollar AS, harga pokok produksi perusahaan naik hingga 3%-4%. "Kenaikan harga pokok produksi itu sekitar 60%-70% berasal dari bahan baku," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (25/8). Beban produksi perusahaan berkode saham INAF ini berpotensi akan meningkat lebih tinggi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus terpuruk.
Oleh karena itu, INAF sudah menyiapkan ancang-ancang guna menghadapi kondisi terpuruk akibat kurs rupiah kian loyo. Perusahaan itu akan menunda pembelian bahan baku impor. Sebenarnya, di awal tahun 2013, INAF belanja bahan baku impor dalam jumlah banyak.
Namun, kata John, jumlah bahan baku yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi Indofarma hingga akhir tahun. Perusahaan itu harus kembali melakukan impor pada satu hingga dua bulan ke depan untuk menjaga stabilitas produksi. "Tapi, situasinya begini, jadi, kami tunda (impor) sampai (rupiah) stabil," tutur John. Ia berharap, rupiah bisa kembali ke level Rp 10.000 per dollar AS. Sehingga, proses produksi tidak terganggu.
Seiring dengan bahan baku yang kian terbatas, Indofarma akan menghentikan produksi untuk produk bermerek yangmargin keuntungannya di bawah 10%. Sebelumnya, perusahaan pelat merah ini masih memproduksi produk bermargin kecil.
Agar volume penjualan tetap maksimal, produk tersebut disubsidi silang dengan produk-produk yang memiliki margin tinggi. Namun, hal tersebut juga dinilai tidak mampu menahan ongkos produksi akibat rontoknya rupiah. Sehingga, manajemen Indofarma memutuskan untuk meniadakan kegiatan produksi untuk produk-produk yang memiliki margin rendah. Kecuali, produksi obat-obat generik yang dijual dalam e-catalog. Namun, kata John, perlu ada penyesuaian harga jual untuk produk tersebut.
Selain itu, untuk sementara waktu, INAF hanya memproduksi pesanan obat generik e-catalog yang sudah masuk. Sedangkan untuk pesanan selanjutnya, perusahaan itu akan mempertimbangkan sesuai kondisi pasar. Hal ini dilakukan agar Indofarma terhindar dari kerugian yang lebih dalam.
Asal tahu saja, INAF mengalami kerugian sebesar Rp 9 miliar di semester I-2013. Penyebabnya adalah tingginya pengeluaran untuk membeli bahan baku impor. John tidak menampik, pelemahan kurs rupiah atas dollar AS akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan ke depan. Namun, ia belum bisa memastikan apakah target pendapatan akhir tahun yang sebesar Rp 1,4 triliun akan berubah.
Selain menunda impor bahan baku, perusahaan itu juga akan menunda rencana impor mesin untuk keperluan pabrik. Tetapi, untuk beberapa mesin yang sudah terlanjut diteken, pembelian tetap akan jalan dan mesin tetap didatangkan. John bilang, saat ini, INAF baru memenuhi sekitar 20% dari kebutuhan mesin baru tahun ini. (Merlinda Riska)