Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Politisi Golkar Minta Devisa Hasil Ekspor Dipindah ke Bank Lokal

Pemerintah dan bank sentral harus serius menangani gejolak rupiah dan pasar modal belakangan ini

Penulis: Hasanudin Aco
zoom-in Politisi Golkar Minta Devisa Hasil Ekspor Dipindah ke Bank Lokal
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Petugas Bank BRI tengah mengepak uang rupiah untuk dikirim ke kantor cabang seluruh Jakarta, di Kantor BRI Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat. Nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap dolar AS dan hampir sentuh Rp11.200 pada Selasa (27/8/2013). Berdasarkan data kurs valas Bloomberg, rupiah anjlok 3,11% ke level Rp11.185 per dolar AS pada pukul 08.17 WIB. (Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dan bank sentral harus serius menangani gejolak rupiah dan pasar modal belakangan ini. Partai Golkar menilai pemerintah dan otoritas moneter perlu mengambil langkah-langkah konkrit dan strategis untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan memperkuat kembali cadangan devisa.

Salah satunya, Golkar mendesak agar ratusan hingga ribuan triliun rupiah devisa hasil ekspor (DHE) komoditas, tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke bank lokal di dalam negeri.

“Pemerintah dan bank sentral harus tegas soal devisa hasil ekspor ini. Sudah ada aturannya tapi implementasinya lemah. Padahal ini penting untuk memperkuat devisa kita,” ujar Politisi Partai Golkar Harry Azhar Azis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (28/8/2013).

Harry mengatakan, penempatan devisa hasil ekspor di bank-bank lokal dapat memperkuat cadangan devisa yang terus tergerus untuk menstabilkan rupiah.

Sebelumnya, Bank Indonesia merilis aturan devisa hasil ekspor melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011. Di sana bank sentral mewajibkan eksportir menerima melalui bank nasional.

Dengan kebijakan tersebut, devisa hasil ekspor hanya bisa disimpan di bank yang berbadan hukum Perseroan Terbatas. Sebaliknya, bank di luar negeri akan dilarang untuk mengelola devisa hasil ekspor dalam negeri.

Tujuannya, agar devisa hasil ekspor masuk kembali ke Indonesia dan tidak terparkir di luar negeri.

Berita Rekomendasi

Namun, aturan ini kemudian berjalan tidak efektif. Pasalnya, BI belum menerapkan peraturan ini dengan tegas.

Harry juga meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap eksportir yang tidak menjalankan aturan ini.

”Aturan ini harus benar-benar diimplementasikan banyak devisa kita terbuang di luar negeri, padahal yang diekspor sumber daya alam kita, kenapa bank-bank luar yang nikmati,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR ini.

Harry mengatakan, Singapura masih merupakan negra paling aman dan strategis negara “penampung” devisa hasil ekspor Indonesia. Tak hanya devisa hasil ekspor, negara ini juga tempat yang paling aman untuk menyimpan kekayaan orang Indonesia.

Bukan jumlah kecil, diperkirakan dana milik perusahaan dan orang Indonesia yang ada di Singapura saat ini sekitar US$140 miliar (sekitar Rp1.441 triliun).

Harry mengatakan lagi, semestinya bank sentral segera berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan, Kementrian Perdagangan dan BPS (Badan Pusat Statistik) agar ditemukan data-data riil ekspor komoditas, tambang, serta minyak dan gas.
“Di-crosschek data hasil ekspor kita. Jadi kita punya gambaran dana yang ada di perbankan di dalam dan luar negeri,” pungkas Harry.

Menurut Harry, bila regulasi ini ditegakkan, cadangan devisa RI akan naik kembali dan rupiah dapat distabilkan karena kontribusi ekspor Indonesia dari sektor pertambangan dan CPO nilainya sangat besar. Golkar menilai, pemerintah harus mengambil kebijakan yang dapat memperkuat pasar keuangan dalam negeri, mapun pasar domestik maupun ekspor.

"Semua kebijakan dimoneter dan tentunya juga kebijakan perdagangan kita harus jelas untuk menjaga kepentingan nasional."

Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa (cadev) Indonesia sebesar US$ 92,67 miliar atau setara 5,1 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri (ULN) pada 31 Juli 2013. Angka itu menurun lagi dari 30 Juni 2013 sebesar US$ 98,1 miliar atau setara 5,4 bulan impor dan pembayaran ULN. Cadev per Juni tersebut merupakan yang pertama kalinya menurun di bawah US$ 100 miliar, dari sebelumnya sebesar US$ 105,1 miliar per Mei 2013. Dengan begitu, terjadi penurunan sebesar US$ 7 miliar dari Mei ke Juni, kemudian menurun sebesar US$ 5,43 miliar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas