Kasus Bioremediasi Chevron, Keterangan Ahli Kejagung Tidak Valid
Persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, hari ini (11/9/2013) kembali digelar
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, hari ini (11/9/2013) kembali digelar dengan agenda pemeriksaan para ahli.
Meski demikian, para pakar dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi, menilai seluruh keterangan dari ahli bioremediasi yang ditunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung) Edison Effendi, tidak valid dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Prof M Udiharto, Pakar Bioremediasi dari Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 tahun 2003 tentang pelaksanaan bioremediasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas) maka metode yang digunakan cenderung eksitu.
“Eksitu artinya, mengangkat tanah yang tercemar limbah B3 (bahan berbahaya beracun) ke tempat lain, untuk direhabilitasi hingga kandungan minyak dalam tanah sesuai dengan yang dipersyarakatkan oleh Kepmen LH 128/2003,” jelasnya.
Kepmen LH 128/2003 tidak mengarahkan bioremediasi pada metode insitu (tanpa dipindahkan) karena dikhawatirkan justru mengganggu lingkungan, karena adanya mikroorganisme lain yang berada di lokasi limbah berada. Metode eksitu inilah, kata Udiharto, yang digunakan CPI dalam melakukan bioremediasi. Yakni tanah yang tercemar limbah B3 dipindahkan untuk diolah di tempat yang lain, yang disebut SBF (Soil Bioremediation Facility).
Di SBF itulah, kadar minyak atau Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dalam tanah diturunkan hingga dibawah 1 persen, dengan bantuan mikroba atau bakteri lokal.
Namun Edison dalam keterangannya di depan persidangan, lanjut Udiharto, cenderung mengatakan bahwa bioremediasi pada industri hulu migas, harus menggunakan metode insitu. Menurut Edison, limbah tidak perlu dipindahkan, melainkan diproses di tempat dimana limbah berada, dengan ditambahkan bakteri dari luar.
Edison mengatakan, selama ini sukses melakukan bioremediasi, dengan cara memasukkan bakteri yang dimilikinya, pada tanah yang tercemar limbah B3. Ia pun mengaku memiliki mikroorganisme atau bakteri yang untuk proses insitu.
“Dari keterangannya ini, saya melihat ada kepentingan Edison untuk menjual mikroba atau bakteri. Keterangan Edison itu pun bertentangan dengan Kepmen LH 128/2003,” kata Udiharto.
Edison dalam memberikan keterangan, juga mengaku mendasarkan pada Kepmen LH 128/2003. Namun ia menyatakan bahwa tanah yang boleh dibioremediasi, adalah yang kandungan TPH-nya 7,5 persen-15 persen. Sehingga ketika menguji sampel tanah dari lapangan CPI mendapatkan TPH 1,7 persen, ia menyimpulkan tidak perlu dilakukan bioremediasi.
Padahal, kata Udiharto, Kepmen LH 128/2003 mensyaratkan yang boleh dibioremediasi adalah tanah dengan TPH di bawah 15 persen, untuk diturunkan TPH-nya menjadi dibawah 1 persen.
Edison juga mengaku mengambil sampel dengan teknik random, sebanyak lima sampel, lalu melakukan pembobotan. Jika warnanya berbeda, maka bobotnya pun lain. Menurut Udiharto, dalam kaidah pengujian sampel, tidak dikenal metode random dengan pembobotan.
“Jadi seluruh keterangan ahli Kejagung ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, dan tidak sesuai perundang-undangan. Terakhir, ketika semuanya terungkap, Edison berkilah bahwa ia tidak merujuk Kepmen LH 128/2003, melainkan berdasarkan pengalamannya di lapangan,” ungkap Udiharto.
Keprihatinan yang sama, diungkapkan ahli bioremediasi dari Intitut Teknologi Bandung (ITB) DR Renni Sri Harjati Suhardi.