Pemerintah Dinilai Abaikan Pembangunan di Desa
Partai Golkar menilai Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabaikan pedesaan dengan terus mengulur
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Partai Golkar menilai Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabaikan pedesaan dengan terus mengulur persetujuan terhadap draft RUU tentang Agraria dan RUU Desa yang telah diserahkan DPR sejak beberapa waktu lalu.
RUU tentang Agraria merupakan pengganti dari UU PA No.5 Tahun 1960 sesuai dengan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria dan Penglolaan SDA sementara RUU Desa menggantikan UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Sementara RUU Desa yang telah disetujui DPR sejak Juli lalu masih terhambat persetujuan pemerintah terkait masa jabatan Kepala Desa memimpin dan soal anggaran APBN untuk Desa.
Mengenai RUU Agraria, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar ,Presiden SBY pernah menjanjikan kepada petani suatu program reformasi agraria melalui pelaksanaan resdistribusi tanah sejak tahun 2004.
“Kami harapkan amanat dari presiden agar bisa segera membahas RUU tersebut. UU Pembaruan Agraria terdahulu sudah melalui 12 tahun pembahasan karena sangat runyam,” ujarnya dalam rilis tertulisnya, Senin (21/10).
Agun juga menyambut aspirasi yang disampaikan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) mengenai sulitnya perolehan Hak Guna Usaha/HGU atas tanah.
Menurutnya, indutri sawit mengelola 9 juta hektar tanah dengan 58% kepemilikan swasta dan BUMN serta 42% lainnya milik perkebunan rakyat, di samping berhasil menyediakan 10 juta lapangan pekerjaan, juga menyumbang US$ 50 juta pada sektor non-migas menyaingi industri batubara.
“Tapi juga jangan menggusur penduduk asli yang sudah tinggal bertahun-tahun seperti temuan Partai Golkar di lapangan,” tambahnya.
Desakan yang datang juga senada dengan pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie yang meminta kader di DPR agar bekerja sesuai dengan tuntutan masyarakat dan konstitusi. “Kita hormati hak dan kewenangan prerogatif presiden, tapi juga kita serahkan persoalan pada mekanisme yang berlaku secara legislatif di parlemen.”