DPR Bakal Gelar RDP Soal Merger XL-Axis
Proses merger antara XL Axiata dan Axis terus memunculkan polemik.
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses merger antara PT XL Axiata Tbk (XL) danPT Axis Telekom Indonesia terus memunculkan polemik.
Mahfudz Sidik, Ketua Komisi I DPR, menegaskan pengalihan langsung semua frekuensi 1.800 eks Axis kepada XL melanggar ketentuan perundang-undangan, yakni UU Telekomunikasi No. 36/1999.
Menurut politisi PKS itu, proses merger operator telekomunikasi tidak bisa dilakukan secara langsung. Sebab hal itu menyangkut frekuensi yang merupakan hak pakai, sehingga harus dikembalikan kepada negara. Apalagi KPPU dan DPR belum memberikan persetujuan.Seperti halnya KPPU, DPR juga mencium berbagai kejanggalan dibalik proses merger yang cenderung menguntungkan XL Axiata, yang notebene merupakan operator milik Malaysia.
“Denganalasanapa pun, apalagi cuma sekadar menyelamatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 1 triliun, frekuensi tidak bisa langsung dialihkan begitu. Itu harus kembali dulu kepada negara, baru kemudian direalokasikan dengan menggunakan sistem lelang atau evaluasi”, tegas Mahfudz.
Selain menegaskan bahwa proses merger tak sesuai dengan regulasi, Mahfudz juga mengingatkan kepada Menkominfo Tifatul Sembiring untuk lebih mempertimbangkan kepentingan nasional ketimbang semata urusan komersial.
Harusnya kisruh penyadapan oleh beberapa negara asing terhadap Indonesia, dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki dan menata ulang sektor telekomunikasi yang semakin karut marut sebagai akibat dari liberalisasi telekomunikasi yang masif dilakukan pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
“Praktik penyadapan yang mengindikasikan keterlibatan operator-operator yang sahamnya merupakan milik asing, jelasmerupakanfaktorpolitik yang mengancam kepentingan nasional," kata Mahfudz.
Menurut Mahfudz, penguasaan asing yang dominan di industri telekomunikasi, telah membuat operator asing merajalela, bahkan mampu mendikte arah dan perkembangan bisnis yang sesuai dengan kepentingan mereka. Mahfudz mencontohkan, tidak adanya ketegasan regulator terhadap operator yang mangkir dari ketentuan modern lisencing.
Padahal pada saat diberikan lisensi, semua operator telah menyatakan kesanggupan untuk membangun jaringan hingga ke pelosok dan daerah perbatasan. Ironisnya, kondisi yang sama juga terjadi pada operator yang berhasil membangun jaringan hingga ke pelosok Indonesia, namun regulator kurang memberikan apresiasi atas prestasi yang diraih.
Untuk itu, sebagai fungsi pengawasan, DPR berencana memanggil MenkominfoTifatul Sembiring melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna menjelaskan proses merger yang terlihat mengandung banyak kejanggalan dan tidak memperhatikan kepentingan nasional. RDP diharapkan dapat terlaksana pada masa sidang perdana awal 2014.
“Melalui RDPdiharapkan agar proses merger berlangsung transparan dan menghasilkan kebijakan yang sepenuhnya dapat menguntungkan negara,”kata Mahfudz.
SejumlahanggotaKomisi I DPR dan beberapa pengamat ekonomi juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang mengizinkan merger XL dan Axis.
Anggota DPR dari Komisi I, Tantowi Yahya, secara tegas mengatakan, pemberian semua frekuensi berkapasitas 15 Mhz yang sebelumnya dimiliki Axis di jaringan 1.800 Mhz untuk dimiliki XL bertentangan dengan regulasi.
“Frekuensi tidak diperkenankan untukdijual bebas. Apalagi jika hal itu hanya didasarkan pada aspek komersial semata,” kata Tantowi.