Tarif Listrik Naik, Pendapatan Usaha PLN Meningkat
PT PLN (Persero) pertumbuhan pendapatan usaha Perseroan pada tahun 2013 lebih tinggi dibanding kenaikan biaya
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PLN (Persero) pertumbuhan pendapatan usaha Perseroan pada tahun 2013 lebih tinggi dibanding kenaikan biaya. Meningkatnya pendapatan usaha di tahun 2013 ini berasal dari perpaduan antara kenaikan volume penjualan tenaga listrik dan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang diberlakukan bertahap setiap triwulan mulai pemakaian Januari 2013.
Kenaikan volume penjualan diyakini sebagai akibat pertumbuhan ekonomi nasional yang berdampak pada penambahan 3,8 juta pelanggan baru. Penambahan jumlah pelanggan sebesar itu merupakah upaya yang luar biasa dari Perseroan dalam melayani kebutuhan listrik kepada masyarakat dimana sampai dengan akhir tahun 2013 total pelanggan Perseroan telah mencapai 54 juta.
Pendapatan usaha Perseroan mengalami peningkatan sebesar 10,6 persen menjadi Rp.257,4 triliun dibandingkan Rp.232,7 triliun pada tahun 2012. Sementara itu beban usaha mengalami kenaikan 8,8 persen yakni sebesar Rp.220,9 triliun dibdandingkan Rp.203,1 triliun pada tahun 2012.
"Kenaikan biaya operasi tersebut menunjukkan bahwa Perseroan telah melakukan kontrol terhadap biaya operasi," ujar Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto, Rabu (5/3/2014).
PLN mencatat biaya administrasi dan umum yang merupakan controllable cost bagi Perseroan hanya naik 5,7 persen dari Rp.5,2 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp.5,5 triliun pada tahun 2013. Selebihnya dikontribusi oleh peningkatan konsumsi dan harga bahan bakar dan pelumas yang berada di luar kontrol Perseroan.
Laba usaha Perseroan naik sebesar Rp.7,0 triliun atau 23,5 persen dari Rp.29,5 triliun menjadi Rp.36,5 triliun. Di sisi lain laba bersih mengalami penurunan sebesar Rp.32,8 triliun dari Rp.3,2 triliun pada tahun 2012 menjadi rugi Rp.29,6 triliun pada tahun 2013.
Penurunan laba bersih ini terutama disebabkan oleh peningkatan rugi selisih kurs atas penjabaran liabilitas moneter dalam mata uang asing yang bersifat non cash sebesar Rp.42,2 triliun dan peningkatan beban bunga sebesar Rp.5,5 triliun.
Peningkatan rugi selisih kurs sebesar Rp.42,2 triliun tersebut diatas disebabkan oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS sebesar 20,7 persen dan 3,6% terhadap Yen.
"Hal ini menyebabkan nilai utang PLN dan utang sewa pembiayaan atas penerapan ISAK 8 terhadap transaksi dengan Independent Power Producer (IPP) yang didominasi oleh pinjaman valas meningkat secara tajam," ungkap Bambang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.