Hampir 50 Persen Pabrik Rokok Kretek Lokal Gulung Tikar
ndustri rokok kretek mengalami kemunduran. Dilaporkan, hampir 50 persen pabrik rokok kretek terpaksa gulung tikar. Apa sebab? Timbulkan penganguran?
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri rokok kretek mengalami kemunduran. Dilaporkan, hampir 50 persen pabrik rokok kretek terpaksa gulung tikar. Dari sebanyak 3.000-an pabrik rokok di Indonesia saat ini, hanya tersisa sekitar 1.970 lokasi.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero), Sulami mengatakan, khusus di Jawa Timur, dari sebanyak 1.100 pabrik rokok yang tercatat di tahun 2009 jumlahnya merosot drastis menjadi 563 pabrik.
"Jumlahnya terjun bebas. Khususnya pabrik rokok kecil-kecil banyak yang gulung tikar," kata Sulami, Jumat (21/3/2014).
Menurutnya, satu di antara faktor mempengaruhi adalah perubahan aturan luas lokasi dibanding peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 75. Sebelumnya di PMK Nomor 75 yang mengatur mengenai luas bangunan minimal hanya butuh seluas 50 meter persegi. Tapi di PMK 200, batas luas usaha minimal menjadi 2.00 meter persegi.
Sulami mengatakan, guna menyelamatkan industri rokok kecil, Gapero telah menemui Pemerintah Daerah setempat. Gapero mendesak dana bagi hasil cukai dan tembakau dialokasikan sebagian untuk mendirikan pabrik-pabrik kawasan rokok.
"Dialokasikan untuk mendirikan kawasan indusri rokok kecil. Untuk menyelamatkan pabrik rokok yang terkena dampaknya," kata Sulami.
Sementara, mantan Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas mengatakan, banyak faktor di balik penurunan produksi rokok, terlebih sigaret kretek tangan (SKT).
Salah satunya menurut Enny adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 200/PMK yang menetapkan ketentuan luas minimal 200 meter persegi bagi pabrik rokok.
Selain itu, penetapan pajak rokok sebesar 10 persen bagi perusahaan-perusahaan rokok lewat peraturan daerah baginya dalah salah satu faktor yang memberi kontribusi besar menurunnya produksi rokok yang kemudian berkorelasi dengan penurunan konsumsi rokok.
"Kedua faktor ini sangat mempengaruhi masalah tersebut. Belum lagi faktor lain seperti harga cengkeh yang semakin tinggi yang pada akhirnya memaksa industri atau perusahaan mengambil kebijakan merumahkan pekerja-pekerjanya," kata Enny.
Enny menambahkan, salah satu solusi agar perusahaan-perusahaan rokok, khususnya perusahaan kecil, tetap bertahan, adalah dengan cara merger alias menggabungkan perusahaan-perusahaan kecil menjadi lebih besar.
"Tapi persoalannya apakah mereka mau bergabung?" kata Enny.
Tak hanya perusahaan kecil yang menanggung akibat dari penurunan produksi dan komsumsi SKT. Perusahaan rokok sekaliber Sampoerna pun demikian.
Atas persoalan itu pula Sampoerna melalui Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk, Elvira Lianita menyampaikan kebijakan penawaran program pensiun dini sukarela bagi karyawan SKT.