Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Industri Migas Butuh Gebrakan Presiden Baru

Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) sedang lesu darah. Inilah yang akan menjadi tantangan presiden terpilih

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Industri Migas Butuh Gebrakan Presiden Baru
Tribunnews.com/Hendra Gunawan
Kapal gas Pertamina untuk persediaan Jawa Barat di Perairan Jakarta 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) sedang lesu darah. Inilah yang akan menjadi tantangan presiden terpilih. Bagaimana membangkitkan kembali industri hulu migas yang merupakan salah satu industri strategis bagi Indonesia.

Mantan Kepala Badan Pengawas Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), R Priyono menyatakan, salah satu masalah lesunya industri migas saat ini karena adanya pembubaran BP Migas pada November 2013 lalu.

"Agak sulit bagi petinggi perusahaan migas asing menjelaskan situasi ini kepada kantor pusat mereka, sebuah lembaga yang sudah berdiri sejak lama dan didasari oleh undang-undang, bisa dibubarkan dalam satu hari saja," ungkap Priyono dalam diskusi di redaksi KONTAN akhir pekan lalu.

Dalam situasi seperti ini, menurutnya, presiden baru tentu saja akan menghadapi beberapa tantangan. Pertama, dilema, apakah kembali menyatukan fungsi pengawasan dan bisnis pada Pertamina? Atau Pertamina menjadi wasit sekaligus pemain di industri migas.

Pilihan lain, tetap mempertahankan pemisahan antara fungsi pengawasan, bisnis, dan kebijakan. "Dulu Indonesia pilih memisahkan fungsi regulasi dan pengawasan dari Pertamina karena Pertamina menjadi negara dalam negara," ujar dia.

Kedua, pada saat yang sama produksi minyak dari lapangan yang dimiliki oleh Pertamina selama ini tidak pernah dioptimalkan. "Pertamina lebih suka mengimpor minyak daripada memproduksi minyak," ungkap dia. Saat ini produksi minyak Pertamina hanya berkisar 202.000 barel per hari (bph).

Keempat, dari sisi regulasi, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidak mengarah pada kebutuhan industri migas dan sama sekali tidak mendorong pertumbuhan pasar. Sebagai contoh, adanya peraturan soal pajak bumi dan bangunan pada tahapan eksplorasi. Pihak yang membuat aturan ini tidak memahami eksplorasi dalam bisnis migas.

Harusnya, pajak dikenakan pada hasil produksi yang sudah dinikmati, tetapi yang terjadi, investor yang baru memenangkan tender blok migas belum bisa menikmati hasilnya selama enam sampai tujuh tahun pertama, sudah dikenakan pajak.

Kelima, regulasi yang ada saat ini juga belum berorientasi menyejahterakan rakyat. Orientasi regulasi saat ini masih bisnis untuk bisnis dan bukan bisnis untuk rakyat.

Seharusnya, ukuran yang dipakai dari keberhasilan industri migas ini adalah kemakmuran dari daerah sekitar lokasi yang menghasilkan migas. "Usaha mensejahterakan masyarakat bisa diukur. Kontraktor migas boleh terus diperpanjang kontraknya kalau masyarakat sekitar daerah penghasil sejahtera," ujar dia. (Agustinus Beo Da Costa)

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas