Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ketua Perbanas: Bank Indonesia Seolah Dipersulit Buka Cabang di Luar Negeri

Sebaliknya bank-bank dari Indonesia seolah dipersulit saat membuka cabang di luar negeri.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Ketua Perbanas: Bank Indonesia Seolah Dipersulit Buka Cabang di Luar Negeri
Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo
Ketua Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional) Sigit Pramono. 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak krisis finansial tahun 1998, hingga kini kebijakan yang membolehkan bank asing menguasai saham sampai 99 persen ternyata belum ditutup, walaupun ada usaha-usaha dari Bank Indonesia mengeluarkan peraturan sendiri membatasi jumlah kepemilikan asing tersebut.

"Krisis tahun 1998 mengakibatkan antara lain merger beberapa bank menjadi Bank Mandiri dan beberapa bank swasta terpaksa harus dinasionalisasi pemerintah seperti Bank BCA, Danamon, BII. Tapi pemerintah mengambil alih memang tidak untuk menguasai tetapi untuk dijual kembali. Karena kemampuan daya beli dalam negeri rendah saat itu dibukalah kebijakan asing boleh membeli saham bank sampai 99 persen dan kebijakan tersebut sampai kini belum pernah dicabut. Padahal sebenarnya sifatnya sementara," kata Ketua Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional) Sigit Pramono, khusus kepada Tribunnews.com, belum lama ini.

"Memang ada upaya-upaya Bank Indonesia membatasi kebijakan asing 40 persen dan UU yang baru sekitar itu juga barulah mulai belakangan ini. Orang kaget begitu mudah bank-bank asing beroperasi di Indonesia. Namun sebenarnya tidak persis buka cabang," katanya.

"Di atas semua itu, sebetulnya Perbanas mendorong agar pemerintah, dalam hal ini OJK dan parlemen kiranya dapat menyusun Cetak Biru Perbankan (CBP), rencana jangka panjang perbankan Indonesia. Kita belum punya hingga kini, akibatnya saat krisis ekonomi muncul timbullah kritik," kata Sigit.

Akibat dari kebijakan 1999 Asing diperbolehkan memiliki 99 persen saham banyak bank nasional, misalnya Bank Niaga menjadi CIMB Niaga, Bank Danamon dimiliki pihak Temasek Singapura, dan Bank BII dimiliki pihak Malaysia.

"Sebetulnya sebelum dimiliki asing, bank nasional kita itu sudah punya cabang bahkan sampai kabupaten. Setelah diambil Asing ya seolah mereka buka cabang di sana kesannya, jadi sebenarnya tidak benar. Kita lihat bank murni asing seperti Citibank, Standard Chartered memang buka cabang di beberapa kota tapi tak banyak. Seolah tampaknya tidak ada aturannya sehingga mereka gampang sekali buka cabang," jelas Sigit.

BERITA TERKAIT

Sebaliknya bank-bank dari Indonesia seolah dipersulit saat membuka cabang di luar negeri.

"Bank Mandiri, bank BNI yang mau buka cabang di Singapura seolah dipersulit, tidak mudah. Sebenarnya hal ini sangat berbeda, jangan dibandingkan," katanya.

Kalau kasus Indonesia, asing membeli saham tetapi kalau Indonesia di luar negeri. "Kita kan membuka Cabang, jadi ya tidak level. Tidak bisa mengeluh untuk memaksa negara asing untuk bisa membuka cabang kita di luar negeri," ujarnya.

"Apabila saat krisis 1998 Indonesia tidak pernah ada kebijakan asing 99 persen masuk ke perbankan Indonesia, maka akan sama sulitnya. Jadi di negara kita inilah mesti dibatasi dan kita tak bisa intervensi kebijakan negara luar agar membuka diri," Sigit menekankan.

Yang paling penting menurutnya harus bisa mendorong ada kepastian. Harus diingat bahwa segala sesuatu harus berdasarkan CBP yang saat ini Indonesia belum memilikinya dengan konsensus nasionalnya.

"Ganti pemerintah ganti parleman, lalu kebijakan berganti tidak jelas. Investor perbankan sangat mementingkan kepastian hukum. Perbanas sendiri telah sampaikan sumbangan pemikiran untuk CBP ke semua pihak baik Presiden, parlemen, OJK, Bank Indonesia, Bappenas dan sebagainya," ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas