Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Maju Mundur Pembatasan Jumlah Gerai Waralaba

Revisi tentang pembatasan gerai yang tak berlaku surut mendapat sorotan dari para pebisnis ritel

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Maju Mundur Pembatasan Jumlah Gerai Waralaba
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Apa guna revisi aturan jika dampaknya tak bisa berujung pada pengembangan bisnis waralaba? Pertanyaan ini yang mengerucut dalam perdebatan tentang revisi jumlah gerai waralaba.

Kementerian Perdagangan telah merevisi satu-satunya pasal yang kerap menjadi “duri dalam daging”, pekan lalu. Sejak aturan tentang pembatasan gerai waralaba meluncur, pasal itu menjadi kontroversi. Dalam waktu dekat ini, aturan berdasarkan revisi terbaru akan disahkan.

Revisi tentang pembatasan gerai yang tak berlaku surut mendapat sorotan dari para pebisnis ritel. Maklum, sebelum direvisi, aturan yang mulai disusun sejak dua tahun lalu itu merupakan aturan yang digadang-gadang bisa mencegah monopoli waralaba oleh beberapa pemilik master franchise kuliner di Indonesia.

Monopoli

Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Levita Supit, berharap, pembatasan kepemilikan gerai bagi pewaralaba itu harusnya mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Jangan sampai satu perusahaan mempunyai 100 gerai di Indonesia. Pemerintah harus memberikan kesempatan pihak lain ikut berbisnis,” ujarnya ke KONTAN, Kamis (16/10).

Jika ingin menerapkan prinsip waralaba yang meningkatkan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), tegas Levita, jumlah gerai yang dimiliki sendiri oleh pemilik waralaba jangan terlalu banyak. Angka 250 dan 150 masih terlalu besar. WALI menyarankan, jumlah yang dimiliki sendiri seyogyanya diselaraskan dengan melihat jumlah provinsi atau kota-kota utama di Indonesia. “Selebihnya harus di waralaba,” imbuh Levita.

Hendi Setiono, Pemilik waralaba Baba Rafi menilai, dengan tidak berlaku surut, aturan tersebut bisa menghapus semangat para pengusaha lokal yang ingin mewaralabakan usahanya. Hendi khawatir, dengan batasan gerai milik sendiri yang terlalu banyak malah membuat persaingan bisnis terlalu ketat dan tidak sehat. “Sehingga, aturan ini jadi percuma,” tegas Hendi.

BERITA REKOMENDASI

Pemilik waralaba Jojo Cup Hendrawan Buntaran segendang sepenarian. Menurutnya, aturan pembatasan gerai pada dasarnya bertujuan mencegah monopoli waralaba oleh segelintir pihak. Karena itu, Hendrawan berharap pemerintah bertindak lebih tegas.

Bukan hanya itu saja. Di bisnis waralaba, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus ke pembatasan gerai saja. Kemudahan izin, insentif, dan kemudahan kredit bagi pengusaha yang ingin membuka waralaba juga sangat penting. “Pengalaman saya, mitra yang di daerah masih kesulitan untuk mengurus izin dan mendapatkan bantuan kredit,” terang pria yang sudah punya hampir 30 gerai dan akan menambah 10 gerai Jojo Cup lagi ini.

Sementara pengamat waralaba dan konsultan dari Proverb Consulting, Erwin Halim, menilai, aturan itu masih jauh dari niat mencegah monopoli. Sebab, aturan ini masih bisa diakali oleh pemegang master waralaba atau pewaralaba dengan cara membuka waralaba baru oleh keluarga atau kerabat dekat sendiri.

Selain itu, Erwin melihat jika aturan ini juga masih belum bisa mencegah serbuan waralaba asing di Indonesia dan memproteksi waralaba lokal. Itu karena waralaba asing rata-rata memiliki modal yang cukup besar. Sehingga, saat pertama kali masuk di Indonesia pun mampu membuka ratusan gerai sendiri dalam waktu singkat.

Pemerintah, kata Erwin, seharusnya fokus mengatur bagaimana agar waralaba lokal kita dapat bertahan bisnisnya, bahkan go international. Selain melalui pelatihan, pemerintah sebaiknya rajin mengajak waralaba lokal studi banding waralaba ke luar negeri.


Erwin membandingkan, kiprah pemerintah di sini dengan aksi pemerintah Malaysia. Dalam setahun terakhir, pemerintah negeri jiran itu membawa hingga puluhan perwakilan waralaba lokal tur ke belasan negara untuk studi banding. “Sedangkan, di Indonesia yang diajak biasanya hanya 3-5 perwakilan dan itupun ke 2-3 negara saja,” terang Erwin.

Aturan baru ini juga menyisakan kerancuan di masa depan. Ia mencontohkan, pada awalnya, aturan untuk waralaba gerai kuliner sengaja dibedakan dengan waralaba ritel modern karena karakteristiknya berbeda. Karakter yang berbeda seperti pewaralaba kuliner besar kebanyakan dimiliki pengusaha asing, sedang pewaralaba ritel modern besar kebanyakan pemain lokal. Namun, kenapa kebijakan tidak berlaku surut disamaratakan? Kesannya, pemerintah tidak mau repot dengan kepemilikan gerai waralaba yang sudah menggurita.

Halaman
12
Tags:
Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas