Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Menularkan ‘Virus’ Gas

Belum lagi ongkos BBMnya lebih mahal. Bajaj BBG hanya butuh Rp 20.000 per hari, Bajaj BBM butuh Rp 50.000

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Menularkan ‘Virus’ Gas
Warta Kota/Theo Yonathan Simon Laturiuw
Usin, menegak air mineral sementara mobilnya diisi gas, beberapa waktu lalu. Usin mengisi gas di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) mitra Perusahaan Gas Negara (PGN). 

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Theo Yonathan Simon Laturiuw

TRIBUNNEWS.COM --  Usin (59) butuh satu jam mengantre sampai dapat giliran mengisi bahan bakar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Jalan Perintis Kemerdekaan, Sabtu (4/10/2014). Lelaki berambut putih itu pemilik sekaligus sopir mikrolet trayek M-12 jurusan Senen-Pulogadung. Setiap hari antrean selalu lama di SPBG itu.

Sebab mobil jenis mikrolet butuh waktu sepuluh menit sampai tangkinya terisi penuh. Usin baru dua bulan belakangan beralih ke BBG. Saat dibeli Maret 2013 lalu mobil Usin masih berbahan bakar minyak (BBM). Mobil itu Ia cicil Rp 3 juta per bulan.

Akibatnya Ia kerepotan. Sebenarnya penghasilan kotor Usin sebulan mencapai Rp 8,7 juta. Tapi biaya bensin terlalu tinggi. Setiap hari Usin perlu mengeluarkan uang Rp 140.000 untuk bensin. Dalam sebulan berarti ongkos bensinnya Rp 4,2 juta. Makanya setelah dikurangi cicilan Rp 3 juta dan ongkos bensin Rp 4,2 juta, Usin hanya mendapat Rp 1,5 juta tiap bulan.

Empat bulan lalu Ia mulai iri melihat Santi (50). Wanita pemilik mikrolet M-12 yang sudah beralih ke gas. Pengeluaran BBGnya hanya sekitar Rp 70.000 per hari. Dari situ Usin nekad meminjam uang Rp 7,5 juta ke tetangganya di Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Uang itu untuk membeli tabung dan alat konversi BBM ke BBG.

Kemudian Santi yang mengantarnya ke bengkel untuk memasang alat itu. Sejak beralih ke BBG pengeluaran bahan bakar Usin per bulan turun. Sekarang hanya Rp 2,1 juta. Dia hanya perlu membeli gas sebanyak 22 liter setara premium (LSP). Harganya Rp 70.000. Sebab satu LSP BBG hanya Rp 3.100. Imbasnya penghasilan bersih Husin per bulan kini Rp 3,6 juta.

Kini Usin kerap mengisahkan itu ke pemilik mikrolet M-12 lainnya. Ia menebar ‘virus’ gas. Sekarang sudah ada dua pemilik M-12 lain yang beralih ke BBG gara-gara cerita Husin. Syapii (40), sopir bajaj BBG punya cerita sama. Setahun lalu dia masih pakai bajaj BBM. Namun sering kalah bersaing dengan bajaj BBG. “Kalau penumpang bertiga, pasti pilih bajaj biru (bajaj BBG),” kata Syapii.

BERITA REKOMENDASI

Belum lagi ongkos BBMnya lebih mahal. Bajaj BBG hanya butuh Rp 20.000 per hari, Bajaj BBM butuh Rp 50.000. Ia mengeluhkan itu ke majikannya. Bahkan Syapii mengancam akan pindah majikan. Akhirnya sang bos mengganti bajaj BBM jadi bajaj BBG. Semenjak beralih ke BBG Syapii bisa membawa pulang antara Rp 70.000 – Rp 100.000 per hari.

Dulu saat masih memakai bajaj BBM paling dia hanya bisa bawa pulang uang Rp 50.000. Juru Bicara Perusahaan Gas Negara (PGN), Irwan Andri Atmanto, mengatakan, langkah ini pula yang kini gencar dilakukan Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jakarta dan beberapa kota lain pada tahun 2014. ‘Menebar virus gas’. Memancing rasa iri. “Dengan begitu kami berharap akan makin banyak yang beralih ke BBG,” kata Irwan.

Caranya dengan pembangunan SPBG dan pemberian konverter gratis seperti di Bogor, dan Bekasi. Serta pemasangan tiga Mobile Refueling Unit (MRU) di Jakarta. Irwan berharap nanti akan banyak yang bertingkah seperti usin dan Syapii.

Incar SPBU

Kendati rasa iri sudah ditebar, namun konversi ke BBG transportasi Jakarta belum maksimal. Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, antara tahun 2011 sampai 2014, jumlah angkutan umum pengguna BBG di Jakarta hanya meningkat 2,8 persen. Tahun 2011 angkutan umum pengguna BBG ada sebanyak 5.175 kendaraan.

Sedangkan tahun 2014 meningkat jadi 6.791 kendaraan.(selengkapnya lihat tabel) Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Emanuel Kristanto, menyebut lambatnya konversi ke BBG lantaran sedikitnya SPBG di Jakarta. Sampai tahun 2014 baru ada 14 SPBG di Jakarta. Dan ada Enam SPBG milik PGN yang dalam proses pembangunan.

Satu diantaranya dibangun atas kerjasama dengan BUMD DKI. Juru Bicara Perusahaan PGN, Irwan Andri Atmanto, mengakui hal itu. “Ada dua penyebabnya. Biaya membangun fasilitas dan alat SPBG mencapai dua puluh milliar. Belum lagi harga tanah di Jakarta mahal,” kata Irwan.

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas