Pri Agung: Jangankan Revolusi Minyak, Data Migas Saja Meragukan
Sampai saat ini ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin menjadi.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sampai saat ini ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin menjadi. Di sisi lain, produktivitas produksi minyak nasional terus merosot.
Direktur Eksekutif Reformis Institute Pri Agung Rakhmanto, akibat ketergantungan Indonesia terhadap BBM impor dan belum maksimalnya upaya peningkatan lifting minyak, saat ini Indonesia pun hanya menjadi penonton naik turunnya harga minyak dunia.
"Maksud saya, mereka (negara lain) bisa lho (mengambil keuntungan). Kita hanya jadi penonton yang hanya bisa melihat harga minyak naik turun," ujar Pri saat ditemui diacara Pertamina Outlook 2015, Jakarta, Rabu (3/12/2014).
Dia membandingkan kondisi perminyakan Indonesia dengan Amerika saat ini. Menurut Pri, kondisi perminyakan Amerika sangatlah baik dengan peningkatan produktivitas migasnya.
"Produksi AS meningkat revolusi minyak, mereka sudah memulai sejak tahun 1970-an. Kita, belum mulai, data saja masih meragukan, jadi masih jauh sekali memang," kata Pri.
Harga rata-rata minyak mentah dunia (Brent dan West Texas Intermediate) pada Juni-Juli 2014 berkisar 95-100 dollar AS per barel. Sementara selama November 2014, harga minyak semakin menurun pada kisaran 70-80 dollar AS per barel.
Anjloknya harga minyak pada 2014 disebabkan beberapa faktor. Diantaranya yaitu peningkatan cadangan dan produksi minyak Amerika Serikat, krisis ekonomi Eropa dan konflik Rusia dengan Ukraina.
Padahal apabila melihat ke belakang, tahun 2008 harga minyak mentah dunia di atas 100 dollar AS per barel. Bahkan pada Juli 2008, harga minyak menyentuh angka 147 dollar AS.