Rupiah Terbebani Kenaikan Inflasi dan Defisit Neraca Perdagangan
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada awal 2015, Jumat (2/1/2015), akan tertekan dengan data ekonomi Indonesia yang baru saja dirilis BPS.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal 2015, Jumat (2/1/2015), akan tertekan dengan data ekonomi Indonesia yang baru saja dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
"Data inflasi dan neraca perdagangan Indonesia yang dirilis pagi ini cukup membebani kinerja rupiah," kata Analis PT Monex Investindo Futures, Zulfirman Basir, Jakarta.
Zulfirman menjelaskan, inflasi tahunan naik 8,36 persen di Desember, atau lebih tinggi dari prediksi kenaikan 7,92 persen dan publikasi November yang meningkat 6,23 persen. Bahkan, Indonesia kembali mencatatkan defisit neraca perdagangan seiring tajamnya kejatuhan ekspor.
Menurutnya, defisit neraca perdagangan mencapai 420 juta dolar AS di November, atau lebih buruk dari prediksi surplus 150 juta dolar AS dan publikasi November yang mengalami surplus 20 juta dolar AS.
"Ekspor tahunan turun 14,57 persen di November lebih buruk dari prediksi penurunan 4,32 persen dan publikasi Oktober yang hanya berkurang 2,21 persen. Di lain pihak, impor tahunan turun 7,31 persen di November setelah berkurang 2,21 persen di Oktober," tuturnya.
Melonjaknya inflasi tersebut, kata Zulfirman, dapat menggerogoti daya beli konsumen dan dapat mengancam berlanjutnya perlambatan ekonomi Indonesia di kuartal terakhir 2014. Defisit neraca perdagangan dan buruknya performa ekspor, juga isyaratkan Indonesia masih akan alami defisit current account yang dapat menjaga sentimen negatif terhadap rupiah.
"Sentimen pelemahan rupiah masih terjaga, di mana rupiah mungkin akan diperdagangkan di kisaran Rp 12.400 hingga Rp 12.500 untuk hari ini," ucapnya.