Dari Atas Kursi Roda, Winarsih Mengekspor Karyanya
Bahkan untuk matras dan sofa yang dia produksi, khusus diekspor ke Jepang
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Reporter Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Lahir dengan keterbatasan fisik, tidak membuat Winarsih (38) tak kalah terhadap keadaan. Keterbatasan tersebut dijadikan pemicu bagi dirinya untuk menunjukkan kapada semua orang bahwa dengan Tuhan tidak menganugerahkan kaki kepadanya tidak menghalanginya mandiri dan sukses.
Setiap harinya Winarsih harus beraktivitas di atas kursi roda, karena dirinya terlahir tanpa memiliki kaki. Keterbatasan tersebut tidak menghalanginya dalam menjalankan usahanya memproduksi matras, sofa, sarung sofa, taplak meja, kain penutup galon dan lemari pendingin, sarung bantal, tas lukis, alas piring, dan beberapa bentuk kerajinan tangan lainnya.
Bahkan untuk matras dan sofa yang dia produksi, khusus diekspor ke Jepang. Perempuan asal Wonogiri tesebut memulai usahanya pada tahun 2001. berbekal kemampuan menjahit yang dia peroleh selama mengikuti pelatihan di YAKKUM, Winarsih memulai usaha jasa jahit sebagai peluang usaha untuk menghasilkan uang.
"Jika hanya mengandalkan jasa, pendapatan yang saya dapatkan belum seberapa karena tidak tiap hari ada orang menggunkan jasa saya. Karena itu, saya berfikiran untuk membuat kerajinan tangan yang masih ada hubungannya dengan menjahit," cerita Winarsih saat ditemui dalam acara Funobject yang beralangsung di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (4/1/2014).
Maka dirinya mulai membuat sarung sofa, sarung bantal, alas piring, dan beberapa kerajinan tangan lainnya. Dengan beragam produk yang dia produksi, akhirnya dia serig mengikuti pameran untuk mempromosikan produk yang dia buat.
Kesempatan untuk mengekspor barang ke Jepang juga dia peroleh melalui pameran. pada emat tahun yang lalu Winarsih mengikuti sebuah pemeran usaha kecil dan menengah di JEC. saat itu ada sebuah perusahaan mebel yang berkeinginan mengajak Winarsih bekerjasama. Perushaan tersebut memproduksi furniturnya, dan Winarsih dieri kesempatan untuk membuat matras dan bantal dari furniture tersebut.
Awalnya dia diberi kesempatan untuk memberikan beberapa contoh matras yang terbuat dari busa, dan pada akhirnya terjalin kesepakatan. saat ini setiap bulannya Winarsih minimal membuat 10 set matras. setiap setnya terdiri dari satu buah matras, dua bantal, dan dua guling. Untuk set yang berukuran lebih besar, terdiri dari satu matras, tiga bantal, dan dua guling.
"Saat ini yang menjadi pemasukan rutin bagi keluarga saya adalah matras tersebut. unutk kerajinan yang lain setiap bulannya tidak menentu jumlah yang bisa saya jual. kadanga-kadang satu bula itu pesanan sangat banyak, kadang-kadang juga sepi," ungkap ibu satu orang anak tersebut.
Untuk satu matras yang diproduksi Winarsih dihargai Rp. 360 ribu. sedangkan untuk beragam produk lainnya dia harga mulai Rp. 8 ribu hingga Rp 250 ribu. Dirinya juga msih menerima jasa menjahit pakaian. Kesehariannya dalam bekerja Winarsih dibantu oleh suami dan tiga orang karyawan.
Tidak hanya mengekspor barang ke Jepang, Winarsih juga pernah mengekspor sarung bantal hingga ke Amerika, dan tempat sampah ke Australia.
Dalam memasarkan produknya, Istri dari Budi Santoso tersebut mengandalkan event pemeran, dan menyebar brosur. ditengah kemajuan teknologi informasi, dirinya juga tidak ketinngalan menggunakan layanan BBM untuk memasarkan produknya.
Dalam gelaran Funobject, dirinya bukanlah satu-satunya peyandang disabilitas yang memamerkan produknya. Ada tujuh penyandang disabiltas lainnya yang tergabung dalam Komunitas Seni Difabel Jogja yang memamerkan kerajinan hasil tangan penyandang difabel, seperti topeng, lukisan, sendal, mainan kayu edukatif, tas, dan hiasan bunga.
"Saya ingin, orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik saya tidak minder dan mampu berkarya dan mandiri. saya merasa malu jika ada orang yang minta-minta dengan mengandalkan keterbatasan fisik," harap Winarsih. menurutnya, masyarakat umum memandang sebelah mata kaum difabel, karena mereka sendiri yang lebih memilih jalan hidup yang merendahkan hidup mereka sendiri. (Hamim Thohari)