Asosiasi Rumput Laut Tolak Penetapan Bea Keluar Rumput Laut
Wacana pemberlakuan Bea Keluar untuk ekspor rumput laut kering dinilai tidak tepat karena akan membawa pengaruh terhadap produktivitas rumput laut.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pemberlakuan Bea Keluar (BK) untuk ekspor rumput laut kering dinilai tidak tepat karena akan membawa pengaruh terhadap produktivitas rumput laut nasional. Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengimbau, pemerintah untuk mengkaji lebih jauh kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan agar tujuan hilirisasi tidak kontra dengan kesejahteraan petani dan pembudidaya rumput laut.
"Produksi rumput laut cukup baik, namun penyerapan industri nasional untuk rumput laut sebagai bahan baku itu masih sangat rendah. Sehingga para pelaku lebih memilih untuk mengekspornya, terlebih karena harga rumput laut di luar negeri nilainya lebih tinggi dan sistem pembayarannya pun lebih cepat," kata Ketua ARLI, Safari Azis dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, akhir pekan ini.
Menurutnya, ketersediaan bahan baku rumput laut di tingkat petani masih banyak tersedia. Hal ini terlihat dari data formal KKP yang mencatat bahwa produksi rumput laut mencapai lebih dari 10 juta ton basah jika dikonversi 10:1 menjadi kering, maka angkanya menjadi 1 juta ton kering (tahun 2014). Sementara, kebutuhan Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) hanya mencapai 87.429 ton (tahun 2015).
"Ketersediaan bahan baku rumput laut banyak, tapi serapan industri nasional masih kecil jumlahnya sehingga banyak diekspor karena tidak ada opsi lain. Jadi, seharusnya tidak ada istilah industri dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Selain itu, jika BK diberlakukan, petani tidak lagi berhasrat untuk menanam rumput laut karena keterbatasan serapan pasar," tutur Safari.
Rencananya, pemerintah akan menerapkan pengenaan BK sebesar 21 persen untuk rumput laut jenis E Cottonii, 44 persen untuk Gracillaria dan 12 persen untuk E Spinosum. Safari menilai, penetapan BK ini akan berimbas pada menurunnya produksi dan mengancam komoditas unggulan komparatif sebagai negara maritim.
Pengenaan BK rumput laut ini, katanya, tidak jelas dasar-dasarnya dan pemerintah tidak pernah melakukan konsultasi dengan para gubernur dan bupati daerah pengasil rumput laut maupun dengan produsennya, sehingga berkesan ada kesewenangan pemerintah pusat.
Safari menuturkan, dengan adanya isu ini saja para pedagang cenderung lebih berhati-hati membeli dari petani dan pembeli dari luar negeri pun mulai mengalihkan pengembangan dan pembeliannya ke negara penghasil rumput lainnya.
"Bila produksi kita nanti terus turun, bisa saja nanti negara penghasil rumput terbesar dunia akan bergeser ke negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, India, Srilanka atau Malaysia," ungkap Safari.
Alih-alih menentukan BK rumput laut, kata Safari, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu fokus untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan menyiapkan program hilirisasi dengan baik melalui roadmap operasional yang terpadu antar kementerian. Sebab, data yang ada di antara satu kementerian dengan kementerian lainnya seringkali berbeda.
"Data Kementerian Perindustrian kadang berbeda dengan data Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini yang kami khawatirkan, artinya penetapan suatu kebijakan bisa saja kurang tepat karena kurang memperhatikan dimensi-dimensi yang ada," ucap Safari.