Wasekjen Perindo Kritik Delapan Insentif Ekonomi Jokowi-JK
Hendrik menilai pemerintah malah sengaja membiarkan inflasi terjadi.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pekan lalu pemerintahan Jokowi-JK melansir delapan paket insentif ekonomi.
Tujuannya untuk menahan laju pelemahan rupiah dalam jangka menengah dan panjang.
Namun pasar merespon berbeda. Sehari setelah pengumuman itu, dolar justru menguat ke titik tertinggi sejak krisis 1998.
Nilai tukar sempat menyentuh Rp 13.245 per dolar AS. Setelah itu stabil di level jual Rp 13.200-an.
Menyikapi hal itu, Wakil Sekjen Perindo Hendrik Kawilarang Luntungan menilai hal ini menunjukkan kinerja pemerintah yang tak responsif.
Sekaligus juga membuktikan bahwa penunjukan tim ekonomi lebih kepada unsur kedekatan daripada pertimbangan profesionalitas dan kapabilitas.
"Sedari awal Tim Ekonomi Kabinet Kerja memang diragukan karena tidak memiliki kemampuan moneter dan fiskal yang mumpuni," kata Hendrik dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/3/2015).
Amatan Hendrik, pelemahan rupiah sebenarnya sudah terjadi sejak Desember tahun lalu. Artinya masalah ini sudah berlangsung empat bulan lebih.
"Dan baru sekarang pemerintah bereaksi. Itupun bukan langkah taktis, melainkan untuk jangka menengah dan panjang," ujarnya.
Hendrik juga menilai pemerintah malah sengaja membiarkan inflasi terjadi.
Contohnya antara lain lewat pencabutan subsidi BBM yang membuat harga bahan pokok melambung, penghapusan beras miskin, permainan mafia beras yang membuat harga beras naik belakangan dan kenaikan TDL awal Januari lalu.
"Rakyat kecil makin susah. Dampaknya masih terasa hingga kini. Rakyat dan pasar sudah kehilangan trust kepada Jokowi-JK," kata dia.
Bahkan, lanjut Hendrik, muncul juga beberapa dari pengusungnya PDIP. Indikatornya sederhana yakni ketidakpastian hukum, konflik politik tak henti, harga-harga bahan pokok melambung dan tipisnya sense of crisis pemerintah.