Wacana Revisi Undang-undang Perbankan demi Kepentingan Nasional
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dianggap sudah tidak layak mengikuti perkembangan terkini.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan tentang perbankan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dianggap sudah tidak layak mengikuti perkembangan terkini. Undang-undang perbankan yang dimaksud diharapkan dapat diperbarui lagi.
Wacana tentang amandeman atas UU Nomor 10 Tahun 1998 itu mengemuka dalam diskusi bertema ‘Revisi UU Perbankan’ di pressroom DPR RI, Selasa (24/3/2015). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu antara lain mantan menteri keuangan, Fuad Bawazier, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah, serta anggota Komisi XI DPR M Misbakhun.
Misbakhun menjelaskan, rencana revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 sudah masuk dalam inisiasi Komisi IX DPR yang membidangi keuangan dan perbankan. "Hampir 17 tahun UU ini belum dirubah," Misbakhun memastikan.
Menurutnya, sangat penting UU Perbankan direvisi. Salah satunya adalah untuk melindungi kepentingan nasabah. "Kita mengarahkan industri perbankan efisien, bahwa bunga bank tak tinggi. Revisi ini akan menciptakan payung kuat, sehingga konsumen dilindungi," ujarnya
Hal lai yang juga tak kalah penting dalam perbankan adalah konglomerasi di bidang keuangan. Menurutnya, harus ada aturan ketat karena ada pemain yang sebenarnya bergerak di bidang infrastruktur, ritel dan bahkan pertambangan namun masuk ke perbankan melalui industri keuangan non-bank.
Tak heran, katanya lagi, kini jumlah bank di Indonesia sudah terlalu banyak sehingga perlu perampingan. Caranya adalah melalui regulasi. "Ibaratnya jumlah jamur di Indonesia sama dengan jumlah banknya. Kita sulit hapal jumlahnya. Ini jadi topik kita," lanjutnya.
Untuk perampingan perbankan, mantan pegawai Direktorat Jendeal Pajak itu lantas membuat klasifikasi. Ia mengharapkan jumlah bank umum cukup 15 saja dengan syarat modal minimal Rp 5 triliun. Sedangkan bank devisa harus memiliki modal minimal Rp 10 triliun. "Jadi, nanti banyak merger dan akuisisi, sehingga perbankan kita jadi ramping," urai Misbakhun.
Terkait keberadaan bank asing, Misbakhun mengatakan persoalan tersebut memang memunculkan persoalan. Sebab, bank-bank dalam negeri mengalami kekurangan modal. Bahkan, imbuhnya lagi, untuk biaya infrastrutur perbankan saja ada yang mengandalkan APBN. Sebab, investasi di perbankan memang untuk jangka panjang, sementara simpanan nasabah untuk jangka pendek.
Meski demikian Misbakhun tetap mendorong adanya nasionalisme di sektor perbankan. "Saya bukan alergi asing, tapi itu tetap harus dipikirkan,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, Fuad Bawazier menuturkan, pemerintah sejak masa reformasi memang punya kecenderungan proasing. Menurutnya, pemerintahan Orde Baru memang sangat membatasi peran perbankan. Namun saat krisis moneter 1997-1998 terjadi, maka hal itu menjadi pintu masuk intervensi asing melalui Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF pun menyodorkan letter of intent (LoI) ke pemerintah Indonesia sehingga terjadi liberalisasi perbankan yang menekan bank swasta dan nasional.
Menurut Fuad, imbas kebijaan itu masih terasa hingga sekarang karena bank asing tak banyak membantu penguatan perekonomian nasional. "Saat ini bank asing itu banyak bekerja untuk fee-fee. Bukan untuk kredit produktif," ujar mantan menkeu era Orde Baru itu.
"Peran bank asing dalam pemberian kredit memang tak besar. Tahun 2014, (bank) milik asing dan campuran cuma 14 persen, swasta 45 persen," Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengakui.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.