Soal Kenaikan harga BBM, Presiden dan Wapres Kok 'Ngomongnya' Berbeda
Faisal Basri berharap pemerintah untuk satu suara dalam menjelaskan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi politik dari Universitas Indonesia, Faisal Basri berharap pemerintah untuk satu suara dalam menjelaskan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Kita berharap para menteri ini suaranya sama. Jangan satu menteri dan menteri lain ngomongnya lain. Saya baca dari media, Pak Sofyan Djalil ngomong beda, Menteri Keuangan ngomong beda, menteri lain ngomong beda,” kata Faisal, Rabu (1/4/2015).
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu pun menyebutkan, perlu ada leadership yang kuat dari pemerintah (eksekutif) agar delivery pesan kepada masyarakat seragam.
“Ada Wapres ngomong beda, Presiden ngomong beda, jadi agak repot,” kata dia.
Faisal lebih lanjut mengatakan, tidak benar bahwa pemerintah telah melepaskan mekanisme harga BBM pada pasar.
Sebab, pemerintah masih campur tangan dalam pembentukan harga BBM.
Harga bahan bakar minyak dan gas bumi (migas) ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No.30 tahun 2009.
Selanjutnya Perpres 191/2014 jo. Permen 39 tahun 2014, menyebutkan pemerintah mengatur harga tiga kategori atau jenis BBM.
Pertama, jenis BBM tertentu atau BBM yang masih disubsidi, yakni solar dengan subsidi tetap Rp 1.000 per liter, serta minyak tanah yang diberikan subsidi mengambang.
Kedua, jenis BBM penugasan yang didistribusikan di luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
Harga BBM penugasan menggunakan formula sesuai harga dasar ditambah ongkos distribusi di luar Jamali.
“Terlepas dari apakah ada kecenderungan di luar Jamali itu lebih mahal kalau dilepas, ya enggak juga. Harga di Balikpapan lebih murah dari Rengasdengklok karena di Balikpapan ada kilang, di Dumai ada kilang,” lanjut dia.
Terakhir adalah jenis BBM umum dimana harganya diserahkan perusahaan.
Tapi, lanjut Faisal, pemerintah tidak sepenuhnya melepas kepada pasar.
“Jadi tidak benar kalau dikatakan dilepaskan sepenuhnya pasar, karena pemerintah menentukan margin 5-10 persen. Terlepas dari ketentuan ini menimbulkan komplikasi, tapi intinya pemerintah akan hadir di pasar. Tidak membiarkan begitu saja pada mekanisme pasar,” kata Faisal.(Estu Suryowati)