Peluang Usaha: Pernah Dicemooh, Kini Usaha Suvenir Promosi Didi Beromzet Rp 500 Juta per Bulan
Sejak kelas 3 SD hingga SMA, anak pertama dari lima bersaudara ini berjualan empek-empek untuk membantu keuangan keluarga
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Didi Kurniadi besar di tengah keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Ayahnya berprofesi sebagai pedagang soto ayam dan ibunya menjadi penjual sayur keliling. Kondisi ini membuat Didi lebih peka dengan keadaan ekonomi keluarganya.
Sejak kelas 3 SD hingga SMA, anak pertama dari lima bersaudara ini berjualan empek-empek untuk membantu keuangan keluarga. Bertahun-tahun berjualan membuatnya terbiasa dengan aktivitas ini.
Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Lampung, Didi sempat menjadi pengurus dana dan usaha (danus) di salah satu organisasi kerohanian di fakultasnya selama tiga tahun. Dari situ, dia banyak belajar mengelola sebuah bisnis.
Lantaran sudah terbiasa dengan profesi menjadi penjual, ketika lulus kuliah, pria kelahiran tahun 1980 ini sempat bergabung menjadi sales di sebuah lembaga pendidikan di Lampung.
Ketertarikannya berbisnis suvenir promosi berawal ketika dia menemukan sebuah iklan jasa suvenir promosi dari Jakarta berupa permen promosi di majalah pemasaran. Dia melihat, cara berpromosi dengan permen cukup menarik. Ketika itu di tahun 2004, tidak ada media promosi selain spanduk dan pasang iklan di media massa di daerahnya.
Dari situ, Didi tertarik untuk menjadi tenaga penjual permen promosi tersebut. Dia akhirnya membuka usaha permen promosi cabang Lampung di akhir tahun 2004. Bermodal katalog dan contoh permen yang dia miliki, Didi mencoba menawarkan jasa promosi ini ke berbagai perusahaan di Lampung. Pada awal-awal berbisnis, Didi banyak mendapatkan penolakan.
Bahkan salah satu perusahaan mencemoohnya karena bentuk penawaran Didi yang hanya menggunakan katalog dan contoh permen, bukan lewat proposal. "Saya pada saat itu hanya punya kemampuan menjadi tenaga penjual saja, untuk teknis penawaran ke perusahaan masih belum paham," ujarnya.
Akhirnya dia memperbaiki sistem penjualannya dengan menggunakan proposal agar terlihat lebih profesional. Gayung bersambut, klien pertamanya datang dari salah satu calon wakil wali kota yang sedang kampanye saat Pilkada. Saat itu orderan pertamanya sebanyak 150.000 unit permen dengan gambar sang calon wakil walikota berserta wakilnya. "Saya bisa dapat keuntungan Rp 4,5 juta pada saat itu," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, permintaan jasa promosi melalui permen makin berdatangan. Beberapa kliennya adalah perusahaan besar seperti Bank BII dan Bank Mandiri cabang Lampung.
Namun lantaran Didi belum bisa mengelola keuangan dengan baik, keuntungan yang dia dapat tidak dia gunakan lagi untuk modal usaha. Sebagian besar keuntungan dia gunakan untuk keperluan pribadi. Akibatnya, Didi pun terlilit utang pada produsen permen promosi hingga mencapai Rp 20 juta. Setelah memperbaiki sistem keuangan usahanya, dia bisa melunasi utang dengan cara mengangsur.
Usaha suvenir promosinya terus berkembang. Dia menambah variasi produk dengan menjadi agen penjual suvenir lainnya dari Jakarta. Di situ, pengalamannya terus bertambah.
Berasal dari keluarga yang berlatar belakang pedagang menjadikan Didi Kurniadi memiliki jiwa berdagang sejak kecil. Apalagi dengan tuntutan ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat Didi sudah terbiasa menjalankan bisnis untuk membantu orang tuanya sejak dia masih remaja.
Berbagai sektor usaha sudah dia jalankan ketika menghabiskan masa sekolah di Lampung, mulai dari berjualan empek-empek, berjualan majalah sampai menjadi agen penjual atau reseller produk suvenir dari Jakarta. Siapa sangka usaha terakhirnya ini mampu membawa pria berusia 35 tahun ini menuju pada kesuksesan finansial.
Lewat merek usaha Radja Promosi, Didi berhasil membangun bisnis suvenir atau produk promosi di daerah tempat tinggalnya di Lampung. Dia memberi nama Radja karena itu nama tertinggi dalam kasta kerajaan. "Hampir semua yang nama radja itu baik, jadi biar terdengar unik," ceritanya.