Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Presiden Jokowi Diminta Lindungi Industri Tembakau Nasional

Penerapan cukai yang tinggi terhadap industri tembakau, termasuk industri kretek, dinilai akan mematikan industri kretek terutama di daerah.

Penulis: Sanusi
zoom-in Presiden Jokowi Diminta Lindungi Industri Tembakau Nasional
http://suryotomo.files.wordpress.com
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerapan cukai yang tinggi terhadap industri tembakau, termasuk industri kretek, dinilai akan mematikan industri kretek terutama di daerah.

Padahal, industri kretek di daerah, tidak hanya diproduksi oleh pabrik besar namun juga sudah masuk kategori industri rumah tangga alias sektor industri kecil.

"Ini sangat mengherankan, tembakau selalu saja dimusuhi. Akhirnya rokok luar bebas masuk," tegas Neta S Pane, salah satu tokoh penggugat pemberlakuan Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Senin (1/6/2015).

Terkait Hari Tanpa Tembakau Sedunia kemarin, menurut Neta sah saja diperingati. Namun juga sudah seharusnya Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melindungi industri tembakau dan menjadikan kretek punya daya saing tinggi seperti Kuba yang memperlakukan cerutu secara istimewa, atau Prancis memperlakukan bisnis minuman anggur.

"Jokowi harus memperhatikan hal ini. Pajak cukai jangan selalu dikejar ke tembakau. Kejar juga pertambangan, sektor kehutanan, minuman beralkohol yang terbukti banyak selundupan," tutur Neta.

Ia mengingatkan, pengenaan pajak ganda dan cukai yang tinggi terhadap industri tembakau dinilai sangat tidak tepat apalagi jika menyasar industri kretek. Dua kebijakan itu menjadi bukti bahwa pemerintah tidak mendukung industri kretek nasional. Padahal, tembakau saat ini menjadi basis industri kecil yang bisa membangun ekonomi di daerah-daerah.

"Ada kesalahpahaman dari pemerintah dan sebagian masyarakat dalam memandang tembakau, dalam hal ini industri kretek," ujar Neta.

Berita Rekomendasi

Neta kembali mengingatkan, penerapan pajak ganda dalam UU PDRD terhadap industri tembakau, juga sangat tidak tepat. Pasalnya, tembakau itu bukan kategori barang mewah. Efek kebijakan itu tentu saja rakyat dirugikan karena harus membayar pajak dua kali.

Dampaknya, industri kretek di daerah sudah pasti akan makin tergerus. "Ini sangat mengherankan, tembakau selalu saja dimusuhi. Akhirnya rokok luar bebas masuk," tegas Neta.

Dihubungi terpisah, Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan menilai, kampanye bahaya perokok pasif yang didengungkan oleh Kemenkes sejatinya masih mengandung perdebatan baik secara medis atau ilmu pengetahuan. Apalagi jika kemudian dampak bagi perokok pasif hingga menyebabkan kanker.

"Bahaya rokok atau tembakau bagi perokok pasif masih diperdebatkan. Bahkan dalam buku 'Divine Kretek' dijelaskan bahwa penyebab kanker tak melulu karena paparan asap rokok. Jangan lupa, kampanye paling manjur untuk anti rokok memang bahaya bagi perokok pasif. Jangan lupa, ketidakbenaran kalau diulang-ulang akan dianggap jadi kebenaran, apalagi masyarakat sudah punya pikiran buruk terhadap rokok," tutur Zulvan.

Menurut Zulvan, hasil riset ilmiah tembakau rokok yang kemudian dibukukan berjudul "Divine Kretek" jelas-jelas disebutkan bahwa seringkali kampanye antirokok itu dilakukan dengan basic riset yang salah.

Ia khawatir, kampanye Kemenkes yang begitu dalam terhadap tembakau, dikarenakan di sektor kesehatan ada begitu banyak funding lembaga donor penyedia dana kampanye anti tembakau. Sementara di sisi lain, Kemenkes seakan lupa untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi rakyat banyak.

Zulvan menyebut, dalam buku Divine Kretek, Dr John C Liuk pernah memprotes keras hasil penelitian Environmental Protection Agency (EPA) dalam majalah yang diterbitkan Universitas Boston tahun 1993. EPA membuat laporan yang serampangan untuk penelitian yang dilakukan di 30 negara.

"24 penelitian tidak menunjukkan hubungan signifikan antara perokok pasif dan kanker paru-paru," ujar Zulvan.

Nah, dari 30 penelitian hanya satu yang menunjukkan satu risiko. Untuk menampakkan hal ini EPA perlu "memutar, memotong dan merapikan" data penelitian sehingga bisa menghasilkan asumsi orang yang hidup dengan perokok 119 kali lebih beresiko terkena kanker paru-paru. "Penelitian tersebut memojokkan tembakau," tuturnya.

Zulvan juga mengkritik sisi pengobatan, Kemenkes justru lepas diri sehingga terkesan sangat liberal karena lebih banyak menggunakan obat paten lisensi dari luar negeri ketimbang obat generik yang sudah tidak ada patennya. "Seharusnya hal itu kan didorong oleh Kemenkes, tapi tidak dilakukan dan lebih mengedepankan kampanye anti tembakau," tegas Zulvan.

Zulvan merujuk temuan Prof Sutiman Bambang Sumitro Guru Besar Biologi Sel Universitas Brawijaya Malang, Profesor Dr Sutiman B Sumitro, bersama ahli Kimia-Fisika senior Dr Gretta Zahar dan tim yang terdiri dari ahli bidang kedokteran, Kimia dan Fisika.

Dari hasil risetnya, memang dalam asap rokok ada zat merugikan namun tidak bisa jadi faktor tunggal. Teori Prof Sutiman menyatakan, rokok menyebabkan kanker kebanyakan hanya hasil pengolahan data di rumah sakit, bukan di lapangan. Jadi, asal ada pasien mengidap kanker, dan kebetulan dia merokok, serta-merta rokoklah yang dituding sebagai penyebab tunggalnya.

Variabel-variabel lain yang terkait dengan gaya hidup si pasien, semisal 'asupan' polusi asap kendaraan, konsumsi MSG, dan sebagainya, diabaikan. Metode semacam itu jelas melanggar kaidah eksperimen ilmiah. "Jangan lupa di sekitar kita banyak perokok aktif yang tetap sehat sampai lanjut usia," tegas Zulvan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas