Energy Watch : Produksi Kilang BBM Pertamina Rugikan Negara
"Ada banyak masalah dalam produksi kilang Minyak di Pertamina. Banyak komponen yang seharusnya tidak masuk biaya justru dibebankan ke biaya kilang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produksi BBM di dalam negeri ternyata lebih mahal dibandingkan impor dari Singapura.
Saat ini biaya kilang BBM yang dikelola Pertamina lebih mahal Rp 500 per liter ketimbang biaya produksi di kilang sejenis yang berada di negeri Jiran tersebut.
Dengan biaya mahal tersebut, Pertamina harus menanggung kerugian dalam jumlah besar.
Dengan asumsi kilang Pertamina mengolah 1 juta barel BBM per hari, yang setara dengan 159 juta liter BBM, maka nilai kerugian yang harus ditanggung Pertamina mencapai Rp 79,5 miliar per hari.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahahean mengungkapkan, sangat aneh jika produksi kilang Pertamina jauh lebih mahal dibandingkan kilang-kilang lain, termasuk dari Singapura.
Apalagi Pertamina juga memproduksi minyak sendiri, sementara Singapura praktis tak punya sumber minyak.
"Ada banyak masalah dalam produksi kilang Minyak di Pertamina. Banyak komponen yang seharusnya tidak masuk biaya justru dibebankan ke biaya kilang. Masalah besar ini justru terlewat dari perhatian tim reformasi tata kelola migas," ungkap Ferdinand, kemarin (21/6).
Akibat mahalnya biaya kilang tersebut, Pertamina niscaya merugi. Kerugian yang terus berulang ini tentu merugikan negara, karena itu seharusnya juga menjadi fokus penyelidikan aparat penegak hukum, termasuk dari kementerian ESDM.
Ferdinand menegaskan, langkah kementerian ESDM untuk membubarkan Petral, yang dicap sebagai sarang mafia migas, tidak akan berarti jika tidak dilakukan reformasi di internal Pertamina.
"Akan percuma Petral dibubarkan tetapi kondisi Pertamina tetap seperti sekarang. Jangan-jangan mafia migas tidak di Petral, tetapi sistem yang ada sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu," tandas Ferdinand.
Akibat beban biaya BBM yang sangat besar, selama kuartal I - 2015 bisnis BBM Pertamina menderita rugi hingga US$ 350 juta atau sekitar Rp 4,62 triliun (kurs Rp 13.200).
Dampaknya, secara umum laba bersih BUMN ini hanya US$ 28 juta, jauh dibawah target perusahaan sebesar US$ 427 juta.