Kenaikan Cukai Rokok Picu Efek Domino
Kenaikan target cukai 2016 sebesar 23 persen ini sangat sangat eksesif
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun, seperti tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016 yang dibacakan di hadapan DPR RI oleh Presiden Joko Widodo, Jumat (14/8) lalu.
Dibandingkan komoditas lain yang dikenakan cukai, produk hasil tembakau adalah sumber utama cukai dengan porsi sebesar 96 persen serta satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan.
"Kenaikan target cukai 2016 sebesar 23 persen ini sangat sangat eksesif, dibandingkan dengan kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 7 sampai 9 persen. Lagi-lagi, industri tembakau berada di ujung tanduk, karena target tersebut ditentukan tanpa mempertimbangkan daya beli konsumen dan dampaknya bagi lapangan kerja yang sangat besar,” ujar Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Selasa (25/8/2015).
Kenaikan target penerimaan cukai tembakau 2016 merupakan pukulan telak bagi industri tembakau nasional. Kenaikan ini dinilai memberatkan karena kenaikan tersebut mencapai angka 23 persen dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun.
Lebih jauh lagi, telah dilakukan revisi program pemerintah dimana target penerimaan cukai tembakau 2015 didorong naik ke angka Rp 139,1 triliun pada awal 2015, pasca peralihan pemerintahan Jokowi. Sejumlah strategi diluncurkan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak, khususnya cukai.
Ironisnya, hal ini diluncurkan tanpa memperhatikan kelangsungan industri tembakau nasional jangka panjang. Pasca revisi APBN-P di awal 2015, pemerintah menerbitkan PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran.
Adanya ketetapan baru ini memang memungkinkan tambahan pendapatan selama dua bulan untuk masuk ke kas pemerintah, namun kebijakan tersebut kontraproduktif.
Menjadi kontraproduktif mengingat skema ini hanya akan menambah penerimaan dalam tahun 2015. Sedangkan,pada tahun-tahun selanjutnya, penerimaan negara dari cukai akan kembali seperti semula.
“Imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat, akan langsung dirasakan oleh pabrikan rokok, tenaga kerja serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar," katanya.
Sekarang, jika pemerintah bersikukuh menaikkan target cukai sebesar 23 persen, maka ini merupakan upaya untuk menghilangkan mata pencaharian jutaan orang yang bergantung pada industri tembakau.
Kenaikan cukai yang eksesif disertai dengan melemahnya daya beli masyarakat akan berimbas pada meningkatnya daya tarik rokok ilegal di pasaran. Hal ini disebabkan karena rokok illegal yang dibanderol jauh lebih murah dibandingkan dengan rokok hasil produksi industri legal. Berdasarkan penelitian Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014, peredaran rokok ilegal di Indonesia sudah semakin merajalela.
Ditemukan bahwa dalam empat tahun terakhir, rokok ilegal sudah tumbuh dua kali lipat menjadi 11,4 persen pada 2014. Dengan adanya fakta dan kemungkinan tersebut, kenaikan cukai dan imbasnya pada rokok ilegal justru merugikan pihak pemerintah dan industri tembakau legal.
Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan keberadaan rokok ilegal akan diuntungkan oleh kenaikan cukai eksesif dan akhirnya mengancam keberlangsungan industri legal. Jika pemerintah tidak bijaksana dan tidak segera mengambil langkah koreksi yang tepat, maka ini merupakan kemenangan bagi rokok ilegal.
"Maraknya peredaran rokok ilegal tidak hanya akan merugikan pabrikan rokok legal dan menciptakan PHK massal, tetapi juga akan menggerus penerimaan negara dari cukai rokok secara signifikan,” kata Enny.
Menjadi mungkin industri hasil tembakau pada akhirnya akan kolaps apabila kontribusi dari industri tembakau terus didorong untuk mengejar target penerimaan yang tidak rasional. Kolapsnya industri ini tentu akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Kolapsnya industri akan turut menghilangkan ratusan triliun penerimaan negara dan lapangan kerja bagi jutaan tenaga kerja dalam mata rantai produksi tembakau nasional.