'Senin Hitam' dan Indonesia
”Black Monday” mungkin dipicu oleh kekhawatiran akan kemungkinan perang kurs (currency war) dan dampak resesi yang lebih luas
Editor: Sanusi
Oleh Muhamad Chatib Basri*
TRIBUNNEWS.COM - Dunia memang tak pernah langka dengan kejutan. Salah satunya devaluasi yuan, mata uang Tiongkok, yang kemudian diikuti kepanikan pasar sehingga terjadilah apa yang disebut ”Black Monday”. Memang, terlalu pagi untuk menyimpulkan. Pasar masih sangat rentan dan bisa saja berperilaku berlebihan (overshoot) karena didorong oleh kecemasan. Bagaimana kita menjelaskan ini semua dalam kaitannya dengan devaluasi yuan?
Pertama, ”Black Monday” (”Senin Hitam”) mungkin dipicu oleh kekhawatiran akan kemungkinan perang kurs (currency war) dan dampak resesi yang lebih luas. Apakah devaluasi yuan akan menimbulkan resesi? Carmen Reinhart dari Harvard Kennedy School dalam sebuah diskusi di sini, di Indonesia, mengatakan: tidak!
Reinhart mungkin benar, tetapi terlalu dini untuk menyimpulkannya. Saya kira dalam jangka pendek langkah ini bisa menimbulkan ketidakpastian, terbukti apa yang terjadi dengan Senin Hitam. Untuk merespons Senin Hitam, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah melakukan stimulus dengan menurunkan bunga 25 dan aturan reserve requirement. Pasar seketika membaik. Apakah akan berkelanjutan? Mudah-mudahan! Akan tetapi, saya kira kita perlu melihat masalah devaluasi mata uang yuan ini dalam perspektif waktu yang lebih panjang.
Penuh ketidakpastian
Devaluasi yuan akan membuat harga barang ekspor RRT menjadi murah. Logikanya, ini akan menolong ekspor RRT tumbuh dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, perlu diingat, devaluasi yuan juga akan membawa dampak terhadap negara mitra dagang RRT melalui dua hal: efek harga dan daya saing.
Mitra dagang terbesar RRT adalah Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). Maka, dapat dibayangkan, devaluasi yuan akan membuat UE dan AS mengimpor barang yang lebih murah. Jika porsi impor dari RRT cukup signifikan di kedua negara itu, bisa terjadi harga-harga akan mengalami penurunan (deflasi)—tentu ini akan bergantung pada seberapa besar devaluasi yuan. Apabila yuan terus didevaluasi, secara tak langsung RRT mengekspor deflasi ke negara mitra dagang. Selain itu, devaluasi yuan akan membuat barang-barang UE kehilangan daya saingnya terhadap produk RRT. Kombinasi dari kedua hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi UE. Jika pemulihan ekonomi di UE terganggu, permintaan terhadap ekspor RRT juga tidak terlalu signifikan.
Kedua, devaluasi yuan akan membuat dollar AS semakin kuat, yang pada akhirnya akan mengurangi daya saing AS. Apakah keputusan The Fed akan tertunda dengan langkah RRT? Reinhart mengatakan tidak. Alasannya, apresiasi terhadap dollar AS, toh, sudah terjadi. Namun, kita perlu mencatat, salah satu yang menahan The Fed untuk segera melakukan kenaikan bunga adalah tingkat inflasi di AS yang masih rendah. Jika langkah devaluasi yuan akan menimbulkan efek deflasi, target inflasi di AS akan semakin lama tercapai. Karena itu, pada akhirnya kita harus melihat perkembangan di AS karena keputusan The Fed akan bergantung pada data. Artinya, ketidakpastian akan terjadi. Dan, semakin lama The Fed menunda kenaikan bunga, semakin tinggi ketidakpastian pasar.
Ketiga, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Jika devaluasi yuan mampu memulihkan ekonomi RRT, Indonesia akan merasakan manfaatnya. Harga komoditas akan mulai naik, ekspor Indonesia naik, dan seterusnya. Namun, jika yang terjadi justru RRT menjadi sumber keguncangan ekonomi global, seperti yang ditulis Soedradjad Djiwandono dari Rajaratnam School, Singapura, dalam tulisannya di harian ini (Kompas, 26/8/2015), ekspor Indonesia tidak akan terbantu. Selain itu, devaluasi yuan akan membuat harga barang impor ke RRT menjadi mahal dan akan menurunkan permintaan impornya, termasuk dari Indonesia. Oleh karena itu, terlalu dini untuk menyimpulkan. Kita harus melihat efek bersihnya (net effect). Jika dampak positif pertumbuhan ekonomi Tiongkok lebih besar dibandingkan dampak negatif penurunan permintaan terhadap ekspor Indonesia, maka ekspor Indonesia akan diuntungkan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, ekspor kita tak akan terbantu.
Keempat, apakah devaluasi yuan akan memicu perang kurs? Sampai saat ini tidak. Mengapa? Karena dalam jangka panjang kebijakan ini bukanlah solusi yang tepat bagi RRT. Devaluasi dalam jangka panjang akan mendorong inflasi yang berasal dari impor (imported inflation) dan akan mendorong arus modal keluar dari RRT. Karena itu, kebijakan ini mungkin hanya sementara.
Dari segi ini tak perlu adanya kekhawatiran yang berlebihan. Namun, jika RRT terus melakukan langkah ini—karena dianggap belum cukup untuk mendorong ekspornya—maka negara lain bisa mengambil posisi untuk melakukan hal yang sama. Sejarah mengajarkan kepada kita, salah satu yang membuat perekonomian global ambruk dalam depresi besar tahun 1930 adalah beggar thy neighbor policy, di mana tiap negara membuat nilai tukar mata uangnya lemah.
Perkuat ekonomi domestik
Empat hal di atas akan menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan dalam beberapa waktu ke depan. Di sinilah letak soalnya. Di dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak bisa sepenuhnya di kendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional.
John Maynard Keynes, ekonom terbesar abad ke-20, menyebutnya animal spirits. Intinya, pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, tetapi juga perilaku tak rasional, seperti animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya (herd behavior). Tindakan ini dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordinasi.