Menghitung Efek Kemarahan Jepang
Bahkan, negara ini mengancam akan mengevaluasi seluruh kerja sama ekonominya dengan Indonesia hingga mencabut investasinya di Indonesia.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Jepang meradang atas keputusan Indonesia menunjuk investor China sebagai pemenang proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
BACA DI SINI: Jepang Kecewa Tak Terpilih dalam Proyek Kereta Cepat Indonesia
Bahkan, negara ini mengancam akan mengevaluasi seluruh kerja sama ekonominya dengan Indonesia hingga mencabut investasinya di Indonesia.
Jika ancaman ini benar, Indonesia patut waspada. Sebab, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang merupakan negara dengan rasio realisasi investasi paling tinggi di Indonesia, yaitu sekitar 62 persen.
Pada semester-I 2015, total realisasi investasi Jepang di Indonesia berada di peringkat ketiga sebesar 1,6 miliar dollar AS atau 11,3 persen dari total realisasi investasi penanaman modal asing (PMA).
Posisi pertama ditempati Malaysia dengan 2,6 miliar dollar AS, sementara posisi kedua ditempati investor Singapura dengan 2,3 miliar dollar AS.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Sofyan Djalil mengakui kekecewaan Pemerintah Jepang tersebut.
Pekan lalu, Sofyan telah diutus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Jepang Taro Aso.
Sofyan telah menjelaskan kepada Pemerintah Jepang bahwa keputusan pemerintah RI soal kereta api cepat didasari oleh pertimbangan rasional.
Pemerintah Indonesia juga menyampaikan komitmen untuk tetap melanjutkan kerja sama ekonomi dengan Jepang.
"Kepentingan Jepang di Indonesia lebih luas, lebih dari sekadar kereta cepat," ujarnya, Jumat (2/10/2015).
Dalam kunjungan itu, Indonesia juga menawarkan proyek-proyek lain kepada sejumlah lembaga keuangan Jepang. Itu untuk menjelaskan bahwa Indonesia membuka kerja sama untuk pendanaan dalam proyek lainnya.
Hanya gertak sambal
Pengamat ekonomi internasional dari Center Strategic and International Studies (CSIS), Haryo Aswicahyono, menilai, ancaman Jepang hanya pernyataan emosional.