Keran Ekspor Mineral Mentah Dibuka, Investasi Pembangunan Smelter Tidak Menentu
Jika keran ekspor lagi, perusahaan-perusahaan tambang akan lebih memilih mengekspor bahan mentah tanpa perlu diolah dan dimurnikan di dalam negeri
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana membuka keran ekspor mineral mentah akan memicu investasi pembangunan smelter menjadi tidak menentu.
Wacana itu terang saja mendapat penolakan, baik dari kalangan legislatif maupun pengusaha smelter.
Anggota Komisi VII DPR RI, Dito Ganinduto mengatakan, Komisi VII DPR yang membawahi bidang energi dan pertambangan sepakat menolak rencana relaksasi ekspor mineral mentah.
Menurutnya, relaksasi mineral mentah tersebut sama saja dengan mengekspor tanah air dan melanggar undang-undang.
"Situasi harga mineral yang sedang turun maupun pengurangan devisa dari ekspor tidak bisa dijadikan alasan untuk relaksasi ekspor mineral mentah," katanya, Rabu (16/3/2016).
UU Minerba mewajibkan peningkatan nilai tambah dari pengolahan dan pemurnian raw material tambang.
Jika keran ekspor lagi, perusahaan-perusahaan tambang akan lebih memilih mengekspor bahan mentah tanpa perlu diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
"Menurut saya ini justru menjadi kemunduran luar biasa bukan mempertegas UU yang sudah ada," ujarnya, Kamis (16/3).
Peningkatan nilai tambah sesuai dengan semangat UU Minerba sudah tidak bisa ditawar.
Nilai tambah itu tercapai jika perusahaan tambang membangun smelter, dan peta jalan antara hulu dan hilir harus ditata untuk mendukung program hilirisasi tersebut.
"Wacana membuka keran ekspor hanya akan merugikan Indonesia berlipat ganda seperti yang sudah terjadi sebelumnya," katanya.
Kekayaan alam Indonesia dikeduk tanpa ampun dan dibuang ke luar negeri, sedangkan Indonesia tidak menikmati multiplier effectnya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso dengan tegas menolak rencana tersebut.
Ia mendesak agar pemerintah membatalkan wacana relaksasi ekspor mineral mentah.