Paksa Facebook dan Line Bayar Pajak, Rudiantara Terbitkan Surat Edaran untuk OTT Asing
OTT asing wajib mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Melalui Internet (Over-the-Top/OTT), yang diunggah dalam laman Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Kamis malam (31/3/2016).
Dalam Surat Edaran tersebut, salah satu hal yang dinyatakan adalah terkait penyedia layanan Over-The-Top (OTT) asing. Berdasarkan Surat Edaran itu, OTT asing wajib mendirikan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
"Bentuk Usaha Tetap didirikan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan," tulis Surat Edaran itu. Hal itu menjawab salah satu isu yang berkembang di masyarakat terkait OTT asing yang semakin marak.
Rudiantara sendiri menargetkan dapat menyelesaikan peraturan menteri terkait OTT pada kuartal II 2016.
Pemerintah memang mengincar perusahaan multinasional yang bergerak di bidang teknologi informasi (TI) seperti Google, Facebook dan sebagainya untuk membayar pajak.
Sebelumnya pemerintah menyatakan tengah menyiapkan mekanisme pemungutan pajak bagi pengembang sosial media dan pengembang jasa layanan berbasis internet.
Beberapa layanan yang akan dikejar pajaknya antara lain Facebook, Google, Skype, Line, BBM, dan sebagainya.
Pasalnya, layanan berbasis OTT ini dinilai memiliki potensi penerimaan bagi negara.
Namun, Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonoegoro mengatakan, para pengembang layanan ini harus memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia sebagai subyek pajak.
Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, sebelumnya mengatakan akan sulit untuk mengenakan PPh dan PPN (pajak pertambahan nilai) ke perusahaan teknologi asing.
Pertama, harus dilihat asal negaranya. Dari situ akan bisa dilihat apakah punya tax treaty atau tidak.
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan di antara da negara untuk menghindari pembayaran pajak berganda.
"Jika tidak ada tax treaty ya tidak usah berdebat untuk mengenakan pajak atau tidak," kata dia.
Kedua, harus dilihat apakah perusahaan asing tersebut punya Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tidak. BUT ini akan terkait dengan PPh. Jika tidak ada BUT, maka tidak bisa dikenakan PPh.
"Pandangan saya, ke depan konsep BUT ini yang harus diganti. Seharusnya subyek pajak ke depan dikaitkan dengan penjualan jasa di negara tersebut," lanjut Darussalam.