Kurtubi: Tata Kelola Migas Seharusnya Dipegang Perusahaan Negara
tata kelola migas nasional harus dilaksanakan National Oil Company
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, tata kelola migas nasional harus dilaksanakan National Oil Company (NOC), bukan oleh lembaga pemerintah seperti BPH Migas dan SKK Migas.
Untuk itu, kata dia, pembahasan RUU Migas harus menolak perubahan SKK Migas menjadi BUMN Khusus atau lembaga apapun.
"SKK Migas mestinya bisa bergabung dengan Pertamina," kata Kurtubi dalam rilisnya di Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Sementara di sisi hilir, pihaknya juga meminta agar BPH Migas dibubarkan dan digabung dengan Direktorat Jenderal Migas.
Alasannya, untuk menyederhanakan sistem, karena selama ini keberadaan BPH Migas justru membuat mata rantai menjadi lebih panjang.
Keberadaaan BPH Migas saat ini menjadi beban bagi perusahaan minyak karena harus memberikan iuran.
Jadi, agar investasi migas kembali bergairah, sistemnya harus sederhana.
"Tidak boleh lagi diberlakukan sistem birokrasi berbelit-belit," kata Kurtubi.
Kuasa pertambangan harus diserahkan kepada NOC, bukan kepada pemerintah. Pemerintah tidak boleh berbisnis.
Maka, kekayaan migas nasional juga harus dikelola NOC.
Aset yang berupa cadangan migas di perut bumi dikelola, dibukukan, dan dapat dimonetisasi oleh NOC.
"Dan yang bertindak sebagai NOC, tentu saja Pertamina," ujarnya.
Selain itu, pemerintah adalah sebagai pemegang kedaulatan dan pemegang kebijakan. Dalam hal ini, posisi pemerintah berada di atas Pertamina.
"Pertamina sendiri ditugaskan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari sektor migas. Selain itu, Pertamina juga ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional," pungkas dia.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan bahwa penguasaan negara atas kekayaan migas perlu ditata ulang dalam pembahasan RUU Migas.
Pasalnya, pengaturan dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 memang sangat liberal.
“Tak heran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/2012, terdapat 14 pasal UU Migas yang inkonstitusional. Dominasi pengelolaan hulu migas oleh BUMN cukup rendah, sekitar 20 persen. Sementara NOC Brasil bisa menguasai 81 persen, Aljazair 78 persen, Norwegia 58 persen, dan Malaysia 47 persen,” jelas Marwan.
Hal tersebut bisa terjadi setelah diberlakukannya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang menghapus hak eksklusif Pertamina dalam mengelola migas sesuai aturan sebelumnya UU Nomor 44 Tahun 1960 dan UU Nomor 8 Tahun 1971.
“Sebagai gantinya, pengelolaan migas banyak beralih kepada kontraktor asing yang membuat kontrak dengan BP Migas dan SKK Migas. Padahal, keduanya hanya badan hukum milik negara (BHMN), bukanlah badan usaha yang mampu mengelola dan memonetisasi aset, sehingga kekayaan migas tidak termanfaatkan dan termonetisasi secara optimal,” kata Marwan.