Meminum Air Laut di Desa Seriwe
Kemustahilan meminum air laut kini berhasil diwujudkan menjadi kenyataan oleh para peneliti dari Universitas Darma Persada Jakarta
TRIBUNNEWS.COM, LOMBOK – Meminum air laut bisa jadi adalah pekerjaan yang sia-sia. Dalam bahasa almarhum Asmuni, pelawak senior Srimulat, meminum air laut adalah ‘hil yang mustahal’. Alih-alih dahaga lepas, meminum air laut justru membuat kita lebih haus, hingga bisa menyebabkan dehidrasi.
Namun kemustahilan meminum air laut itu kini berhasil diwujudkan menjadi kenyataan oleh para peneliti dari Universitas Darma Persada Jakarta. Lewat program Desa Energy, Economic, Environmently Independent (E3i) yang dipimpin Prof Kamaruddin Abdullah, warga Dusun Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, kini bisa meminum air laut. Dengan teknik desalinasi menggunakan teknologi Reverse Osmosis (RO), mereka bisa meminum langsung air laut yang sudah disaring tanpa perlu dimasak.
Dr Aep Saepul Uyun, dosen Universitas Darma Persada yang juga anggota tim pelaksana program Desa E3i Seriwe, menjelaskan, teknologi desalinasi merupakan cara mengolah air laut menjadi air bersih, dengan cara menyaringnya menjadi air tawar, dan memanfaatkan sistem ultra violet untuk membunuh bakteri pada air yang disaring. Melalui teknologi dari Awina Sinergi Indonesia yang ahli di bidang energi terbarukan, air yang sudah disaring tidak hanya sebatas menjadi air bersih, bahkan bisa langsung diminum.
Teknologi desalinasi memang bukan penemuan baru. Di beberapa tempat, teknologi ini juga sudah dikembangkan. Namun yang membedakan teknologi desalinasi di Seriwe adalah memanfaatkan tenaga surya plus angin sebagai sumber penggerak mesin desalinasi. "Kami memakai energi matahari dan angin, karena dusun ini memang kekurangan asupan listrik," kata Aep saat berbincang dengan Tribunnews.com, Senin (18/4/2016).
Di banding masyarakat di kota Mataram, ibu kota NTB, yang jaraknya sekitar 80 km arah barat laut dusun tersebut, warga dusun Seriwe kurang beruntung. .Dengan lokasinya yang terpencil, jauh dari pusat kota, listrik pasokan ari Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru menyapa dusun tersebut sekitar setahun silam. Sebelumnya, untuk menikmati setrum, warga harus menggunakan genset.
Namun, meskipun sudah ada listrik PLN, pasokannya ternyata juga belum stabil. Selain tegangan yang naik turun, listrik PLN kadang-kadang juga tidak mengalir.
Meski demikian, menurut Siti Badriyah, Head of Business Development Awina Energy, tersendatnya pasokan listrik PLN bukanlah persoalan, karena untuk menggerakkan mesin desalinasi pihaknya menggunakan listrik dari tenaga surya dan angin. Energi listrik dari matahari didapat dari solar panel yang ditempatkan di atas bangunan, sementara turbin energi angin ditangkap menggunakan kincir khusus. Listrik dari tenaga matahari dan angin ini bisa menggerakkan mesin desalinasi selama 4-6 jam. Sisanya, barulah digunakan pasokan listrik PLN.
Air laut yang sudah diubah menjadi air tawar ini kemudian dimanfaatkan untuk sumber air minum dan memasak, serta untuk mengolah rumput laut. Di Seriwe, hampir semua warganya memang berprofesi sebagai petani rumput laut.
Sebelum adanya program Desa E3i, petani rumput laut di Seriwe mengolah hasil panen mereka dengan cara tradional. Rumput laut hasil dijemur, sebelum dijual ke pengepul. Harganya tak lebih dari Rp 5 ribu hingga Rp 7 ribu per kg.
Mesin desalinasi yang dikembangkan para ahli dari Unsada kini sehari-harinya dikelola oleh koperasi Cottoni. Ini adalah koperasi yang anggotanya warga di dusun Seriwe. Dari 400 kepala keluarga di Seriwe, 75 di antaranya sudah bergabung di koperasi ini.
Syaifuddin, Ketua koperasi Cottoni, mengatakan, sejak mendapat bimbingan tim E3i Unsada yang memperkenalkan energi terbarukan untuk menggerakkan mesin desalinasi, pihaknya sangat terbantu. "Mesin ini menekan pengeluaran yang selama ini dipakai untuk membeli air bersih, sekaligus juga bisa digunakan untuk mengolah rumput laut," ujarnya.
Lewat program E3i, koperasi Cottoni berusaha memberdayakan petani rumput laut di Seriwe. Jika selama ini rumput laut hanya dikeringkan dan dijual kepada pengepul atau tengkulak, kini mereka berusaha mengolah rumput menjadi berbagai produk turunan, mulai dari dodol hingga kerupuk.
Lewat bimbingan dari dosen di Universitas Mataram dan Universitas Gunung Rinjani Lombok Timur, mereka juga tengah berusaha membuat sirup rumput laut dan steak rumput laut. Dengan berbagai produk olahan tersebut, diharapkan nilai ekonomis rumput laut lebih meningkat, ketimbang langsung menjual rumput laut kering ke tengkulak.
Hanya saja, apa yang dilakukan oleh tim E3i Unsda dan pengurus koperasi Cottoni bukan tanpa aral. Dr Aep Saepul Uyun mengatakan, rumput laut yang dikeringkan lewat rumah kaca yang dilengkapi wind dryer yang dirancang para akademisi Unsada, nyatanya memiliki nilai jual yang tak berbeda dengan rumput laut yang dikeringkan dengan cara tradisional. Padahal dari segi tingkat kekeringan dan kehigienisan, rumput laut yang dikeringkan di rumah kaca jauh lebih higienis.
“Inilah yang harus dicarikankan solusinya. Bagaimana nantinya rumput laut yang dikeringkan di rumah kaca bisa memiliki harga lebih tinggi dibanding rumput laut yang dikeringkan dengan cara tradisional,'' kata Aep. “Pemerintah mungkin bisa membantu masalah ini. Bisa dengan intervensi harga, seperti yang dilakukan terhadap beras. Sehingga harga tidak lagi ditentukan sepihak oleh tengkulak,” tambah Rofina, pengajar program studi budidaya perairan Universitas Mataram, yang ikut membina para anggota koperasi Cottina untuk mengolah rumput laut menjadi berbagai produk turunan.