Chevron Masih Galau Kembangkan Energi Panas Bumi di Gunung Salak
"Taman nasional atau konservasi kalau enggak salah, saya lupa statusnya, tapi itu menjadi masalah karena operasi kita sudah ada duluan di situ."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah telah memperlonggar aturan soal eksplorasi panas bumi (geothermal) dan pemanfaatan kawasan hutan dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi.
Kendati begitu, PT Chevron Indonesia merasa masih ada kendala di lapangan soal pengembangan panas bumi. Kali ini alasannya menyangkut status kawasan hutan itu sendiri.
"Permasalahannya, status hutan kita itu banyak yang berubah," kata Senior Vice President, Policy, Government and Public Affairs PT Chevron Indonesia Yanto Sianipar, di Jakarta, Kamis (5/5).
"Misalnya dulu waktu kita di Salah (Halimun Salak), dulu itu hutannya hutan lindung di mana bisa kita minta izin untuk beroperasi. Sekarang statusnya diubah menjadi taman nasional," jelasnya kemudian.
Lebih lanjut Yanto mengatakan, begitu sebuah kawasan berstatus taman nasional, maka pengembangan panas bumi di situ akan sulit.
Sebabnya, dalam UU Panas Bumi disebutkan, tidak boleh ada kegiatan di taman nasional.
"Sehingga kita harus berurusan dengan bagaimana operasi kita ini," kata Yanto.
Dia menyebutkan, permasalahan perubahan status kawasan hutan tidak hanya terjadi di Gunung Salak.
Wilayah operasi Chevron yang ada di Riau juga berubah status menjadi taman nasional.
"Taman nasional atau konservasi kalau enggak salah, saya lupa statusnya, tapi itu menjadi masalah karena operasi kita sudah ada duluan di situ," katanya.
Yanto berharap pemerintah bisa memberikan izin operasi di kawasan-kawasan tersebut.
"Kelihatannya pemerintah harus mencari jalan keluar untuk itu. Kalau enggak akan repot industri-industi yang ada di situ," kata Yanto.
Tercatat, sejak tahun 1980-an Chevron Geothermal Salak (CGS) telah mendapat izin konsesi seluas 10.000 hektare (Ha), namun hanya membuka 200 ha untuk kebutuhan operasional.
Izin tersebut akan berakhir pada tahun 2040. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) CGS memberikan suplai listrik kepada Indonesia Power yang kemudian digunakan untuk melayani kebutuhan listrik di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor.
Hingga saat ini PLTP CGS mampu menghasilkan 377 MW per tahun. (Estu Suryowati)