Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tarif Interkoneksi Tidak Tepat Memicu Iklim Usaha Tidak Sehat

jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Tarif Interkoneksi Tidak Tepat Memicu Iklim Usaha Tidak Sehat
Tribunnews/Hendra Gunawan
Menara telekomunikasi BTS 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan penurunan tarif interkoneksi yang tidak tepat dinilai bisa memicu praktek monopoli terutama di luar Pulau Jawa.

Kondisi tersebut akan merugikan konsumen sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Penegasan tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengomentari rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi.

Menurut dia, jika kebijakan pemerintah tidak tepat, monopoli di luar Pulau Jawa terjadi, maka yang paling dirugikan atas tindakan operator itu adalah konsumen.

Memang, operator itu memiliki keunggulan jangkauan terluas di Tanah Air, dengan jaringan yang menumpang pada induk usahanya.

Namun kondisi tersebut malah dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan tinggi dari masyarakat Indonesia.

"KPPU harus buat fatwa karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujar Agus dalam keterangan persnya, Kamis (23/6/2016).

Berita Rekomendasi

Ada perbandingan harga yang menggambarkan betapa mahalnya tarif telepon.

Misalnya di Papua, operator itu mengambil keuntungan berkali-kali lipat dibandingkan pesaingnya sementara di Pulau Jawa sendiri, perbandingan harga  terlampau jauh.

Solusinya, regulator telekomunikasi diminta menyikapi serius mengenai hal ini.

Dengan kondisi demikian, operator yang tidak menguasai pasar akan tetap ditekan dan tidak bisa berkembang padahal, tujuan akhir dari penyediaan jasa adalah keuntungan konsumen.

Dengan persaingan sehat dan pengawasan ketat pemerintah, tujuan itu bisa dicapai.

"Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada action konkrit," kata Agus.

Sejumlah pengamat dan penggiat telekomunikasi juga menilai penurunan tarif interkoneksi secara signifikan akan mencegah potensi monopoli terutama di luar Pulau Jawa.

Soalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif berpotensi menjadi tak wajar.

Penilaian tersebut disampaikan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, saat ditanyai terkait rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi.

"Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," ujarnya.

Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing," paparnya.

Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan.

Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini.

Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.

Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator.

Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli.

"Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas