Waspadai Dampak Ikutan Brexit pada Perekonomian RI
"Kalau permintaan dolar jadi tinggi, dolarnya akan berpengaruh ke kita juga."
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pemerintah dan dunia usaha Tanah Air perlu mewaspadai dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit terhadap perekonomian Indonesia.
Praktisi perbankan Jahja Setiatmadja mengatakan, dampak langsung Brexit terhadap ekonomi Indonesia relatif tidak ada. Namun dampak tidak langsungnya tetap perlu diwaspadai, terutama di sektor keuangan.
Jahja menjelaskan, keluarnya kubu pro Inggris keluar dari Uni Eropa sebagai pemenang dalam voting yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Inggris telah membuat kurs mata uang Inggris Poundsterling jatuh terhadap sejumlah mata uang uang kuat dunia. Misalnya dolar AS.
Jika kejatuhan Pound membuat permintaan terhadap dolar AS meningkat, efeknya akan juga dirasakan terhadap kurs rupiah terhadap dolar AS,
"Efek langsung (Brexit) tak ada, tapi kurs ini kalau (kurs) Pound jatuh karena Brexit, pengaruh ke dolar juga. Kalau permintaan dolar jadi tinggi, dolarnya akan berpengaruh ke kita juga. Exchange rate (kurs valas) terpengaruh," kata Jahja Setiatmadja menjawab pertanyaan Tribun di sela acara berbuka puasa forum editor dengan direksi Bank Central Asia di Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (24/6/2016) petang.
Dikhawatirkan, jika permintaan dolar AS tinggi, dolar AS juga ikut terus menguat terhadap rupiah.
"Seharusnya ini hanya dampak short term (jangka pendek) ya, tapi masalahnya Perancis dan Belanda serta Austria kan ada wacana mau ikut-kutan keluar dari Uni Eropa," jelas Jahja.
Hingga Jumat (24/6/2016) WIB, dalam voting di Inggris, kubu yang ingin meninggalkan Uni Eropa menang dengan perolehan suara 51,9 persen. Sementara, kubu yang tetap bertahan di Uni Eropa sebanyak 48,1 persen.
Jahja menjelaskan, perekonomian Indonesia saat ini sedang sulit. Banyak sektor usaha yang turun, termasuk sektor pertambangan dan perkebunan. Daya beli jatuh.
Anggaran Pemerintah dalam APBN juga bermasalah karena realisasi penerimaan pajak yang jauh di bawah target.
Dibandingkan dengan tahun 2008, kondisi ekonomi Indonesia di mata Jahja lebih buruk
"Tahun 2008 itu daya beli masyarakat masih bagus. Sekarang kondisinya parah. Daya beli sekarang jatuh. Sektor pertambangan, perkebunan, manufaktur, packaging sekarang semua turun," katanya.
"Di sektor manufaktur sekarang line produksi di banyak perusahaan sudah sangat berkurang. Begitu juga di sektor tekstil," katanya.
Menurutnya, paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan Presiden Jokowi belum banyak menolong ekonomi RI.
"Paket-paket kebijakan itu niatnya menolong, tapi yang penting sebenarnya adalah bagaimana pemerintah bisa melakukan employment creation (penciptaan lapangan kerja). Tapi problemnya, APBN kita lemah, belamja pemerintah juga turun," tegasnya.
Menurutnya, pelemahan ekonomi Tanah Air saat ini juga karena dampak ekonoi global yang juga melemah. China yang selama ini banyak menyerap komoditi Indonesia juga sedang turun permintaannya. Dampaknya juga terasa bagi Indonesia.
"Ekonomi kita sangat terpengaruh oleh ekonomi China. Ekspor komoditas kita ke China tinggi. Tapi problemnya China lagi susah, malah rakyat mereka sekarang cari kerja ke sini," kata Jahja.