Dugaan Kartel Ayam, Pelaku Usaha Bisa Gugat Pemerintah Lewat PTUN
"Para terlapor yang menjalankan kebijakan apkir dini adalah pihak yang dirugikan, karena harus memotong ayam yang masih produktif."
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan Surat Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian kepada 12 perusahaan pembibitan ayam untuk melakukan afkir dini indukan ayam (parent stock) merupakan produk hukum yang sah.
Jika kebijakan tersebut dianggap melanggar peraturan perundangan atau tidak tepat, harus diuji melalui proses hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak sepatutnya menghukum 12 perusahaan pembibitan ayam tersebut karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah.
“Kalau KPPU menyatakan 12 perusahaan terlapor ini melakukan kartel, maka para terlapor juga bisa menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah," ujar Zainal yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan dugaan kartel ayam di KPPU, Jakarta.
"Para terlapor yang menjalankan kebijakan apkir dini adalah pihak yang dirugikan, karena harus memotong ayam yang masih produktif,” katanya.
Zainal juga menyatakan, produk pangan, termasuk ayam, merupakan hajat hidup orang banyak.
Karena itu, sesuai Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, apabila terdapat permasalahan di bidang pangan sudah seharusnya negara atau pemerintah ikut campur atau hadir menyelesaikannya.
Apa yang dilakukan Dirjen PKH dengan mengeluarkan surat yang menginstruksikan kepada perusahaan pembibitan untuk melakukan apkir dini induk ayam adalah bentuk kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka ikut campur menyelesaikan masalah.
Menurutnya, kebijakan pemerintah ini harus diambil oleh orang yang berwenang serta harus berdasarkan hukum dan dalam bentuk produk hukum.
Dalam hal ini, surat Dirjen PKH yang menginstruksikan apkir dini sudah bisa dikategorikan sebagai sebuah produk hukum.
“Produk hukum ada tiga, peraturan (regeling), ketetapan (beschikking) dan vonis (putusan konkret). Kalau saya lihat surat Dirjen PKH tersebut, saya yakin itu beschikking. Dalam surat itu ada kata-kata menimbang, memutuskan dan bahkan juga ada poin sanksi. Juga dalam surat ditulis ada dukungan menteri," jelasnya.
"Jadi Jangan dilihat bajunya, tapi substansinya karena mengatur individu dan ada tindakan konkret,” imbuhnya.
Menurut Zainal, walaupun ada kata kesepakatan dalam surat tersebut, haruslah dilihat dalam konteks aspirasi dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
"Bagaimanapun, pemerintah tetap menjadi penentu keputusan akhir. Dalam hal ini, sebelum mengeluarkan surat, pemerintah menampung aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam rangka asas umum pemerintahan yang baik," ujarnya.
Akhir 2015 lalu Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membuat kebijakan berupa instruksi pengapkiran 6 juta ekor indukan ayam atau Parent Stock (PS) di seluruh Indonesia.
Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki harga ayam hidup (live bird) di tingkat peternak yang pada saat itu jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat berlebihnya pasokan (oversupply) bibit ayam atau anak ayam usia sehari (day old chick/DOC).
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dengan nomor 15043/FK.010/F/10/2015 perihal Penyesuaian Populasi Parent Stock yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015.
Afkir dini tahap I (Oktober-November 2015) dan tahap II (Desember 2015) telah dilakukan dengan total 3 juta ekor.
Namun kemudian KPPU meminta apkir dini dihentikan dan memperkarakannya dengan tuduhan terdapat pelanggaran kartel sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.