Pengusaha Industri Tekstil Mengeluh, Harga Gas Industri Kok Amat Mahal
Di mata para pengusaha, dibandingkan negara lain yang juga menjadi pesaing produk TPT, harga gas di Indonesia sudah terlalu tinggi.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melakukan pertemuan bersama pelaku usaha Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) membahas perkembangan industri TPT di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/8/2016). Salah satu yang menjadi bahasan adalah persoalan harga gas industri dinilai terlalu tinggi.
Di mata para pengusaha, dibandingkan negara lain yang juga menjadi pesaing produk TPT, harga gas di Indonesia sudah terlalu tinggi.
"Kami ini industri hulu, maka konsumsi gas sangat besar. Tapi di hulu ini masih dikenakan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan Korea, Vietnam, Thailand, dan Malaysia," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di acara Breakfast Meeting Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/8/2016).
Ade menuturkan, tingginya harga gas industri dibandingkan negara lain akan berimbas pada kenaikan impor benang dan serat. "Lebih murah impor," jelasnya.
Ade menambahkan, biaya untuk energi berkontribusi 28 persen dari struktur biaya dari industri hulu TPT seperti pabrik serat dan benang.
"Energi khususnya gas ini yang paling dibutuhkan di tekstil hulu. Jadi tulang punggung dari proses produksi tekstil, tapi gas mahal, padahal cost structure sampai 28 persen," tambah Ade.
Sementara itu, harga gas industri di Indonesia berkisar pada angka 8 dollar AS-10 dollar AS per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU).
Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga gas industri di Singapura sekitar 4 dollar AS-5 dollar AS per MMBTU, Malaysia 4,47 dollar AS per MMBTU, Filipina 5,43 dollar AS per MMBTU, dan Vietnam 7,5 dollar AS per MMBTU.
Penulis: Pramdia Arhando Julianto