Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Jokowi: Keluar OPEC Demi Jaga APBN

Pembekuan pertama keanggotaan Indonesia di OPEC terjadi pada tahun 2008, dan efektif berlaku 2009.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Jokowi: Keluar OPEC Demi Jaga APBN
Repro/Kompas TV
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Mendagri, Tjahjo Kumolo (kiri) dan Menpan RB, Asman Abnur (tiga kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri upacara HUT ke-45 Korpri di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Selasa (29/11/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memastikan keputusan Indonesia untuk keluar sementara dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) tidak akan berdampak besar bagi perekonomian dalam negeri. Pemerintah memiliki pertimbangan lain sebelum mengambil keputusan tersebut.

Menurut mantan Gubernur DKI Jakarta ini, Indonesia pernah keluar dari keanggotaan OPEC.

Pembekuan pertama keanggotaan Indonesia di OPEC terjadi pada tahun 2008, dan efektif berlaku 2009. Indonesia memutuskan kembali aktif sebagai anggota OPEC pada awal 2016.

"Dulu kita pernah menjadi anggota OPEC dan tidak menjadi anggota OPEC. Kemudian kita masuk lagi karena kita ingin informasi naik turunnya harga, kemudian kondisi stok di setiap negara. Itu bisa tahu kalau menjadi anggota," kata Jokowi di Jakarta, Kamis (1/12).

Menurut Jokowi, keputusan Indonesia untuk kembali hengkang dari OPEC atas dasar untuk memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"Tapi karena untuk perbaikan APBN, ya kalau memang kita harus keluar lagi juga tidak ada masalah," ucap dia.

Keputusan Indonesia keluar sementara dari OPEC diambil dalam Sidang ke- 171 OPEC di Wina, Austria, Rabu (30/11). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menjelaskan, langkah pembekuan diambil menyusul keputusan sidang untuk memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari (bph), di luar kondensat.

BERITA REKOMENDASI

Sidang juga meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5 persen dari produksinya, atau sekitar 37.000 bph.

"Padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun sebesar 5.000 bph dibandingkan 2016," kata Jonan.

Dengan demikian, pemotongan yang bisa diterima Indonesa adalah sebesar 5.000 bph. Jonan menambahkan, sebagai negara net importir minyak, pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena harga minyak secara teoritis akan naik.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengingatkan Indonesia berhati-hati terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) usai Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari.

Sasmito mengatakan, andil BBM dalam inflasi sendiri mencapai 3 persen. Jika harga BBM naik satu persen saja, maka dampak terhadap inflasinya akan besar.


"Ini yang perlu diantisipasi dari sekarang dan mudah-mudahan gradual tidak terjadi lonjakan," kata Sasmito.

Menurutnya, jika ada kenaikan harga minyak mentah, sebaiknya Indonesia melakukan penyesuaian harga BBM secara gradual. Dengan demikian, dampaknya terhadap inflasi tidak terlalu bergejolak.

"Kecuali harga dunia naik tajam, itu baru. Selama harga dunia naik gradual saya kira kita aman. Nah, kalau harga dunia naik gradual malah kita enggak naikkan justru nanti kalau kita sekali naik akan tinggi. Lebih baik kita ikuti dinamikanya," tuturnya. (tribunnews/fajar/kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas