Pembentukan BPP Sulit Terealisasi jika Menkeu Masih Sri Mulyani
Ichsanuddin Noorsy saat dikonfirmasi wartawan mengaku pesimistis gagasan pembentukan BPP akan terwujud
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menkeu Sri Mulyani telah membentuk Tim Reformasi Perpajakan. Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP).
Pembentukan BPP itu sendiri adalah amanah Nawacita Presiden Jokowi.
Pengamat ekonomi dan kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy saat dikonfirmasi wartawan mengaku pesimistis gagasan pembentukan BPP akan terwujud selama Sri Mulyani menjadi menteri keuangan.
Pasalnya, pembentukan BPP akan menghilangkan kendali Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atas penerimaan dari perpajakan.
"Karena begitu yang namanya badan penerimaan pendapatan dibentuk, ia tidak lagi di bawah kepemimpinan Kemenkeu. Dia langsung di bawah presiden," ujar Noorsy, Rabu (21/12/2016).
Menurutnya, ketika BPP berdiri maka posisinya setara dengan Kemenkeu. Dengan demikian hubungan kepala BPP dengan Menkeu pun hanya dalam rangka koordinasi.
"Itu artinya mengurangi kekuasaan Menkeu terhadap penerimaan negara," kata Ichsanuddin.
Di bawah penerimaan pendapatan sudah dibentuk rekening tunggal Treasury Single Account. Yang berarti, waktu yang diperlukan sebenarnya singkat bagi Kementerian Keuangan untuk menempatkan BPP sebagai badan otonom.
"Karena yang dibutuhkan hanya kajian pemisahan kelembagaan. Setahun saja cukup," imbuhnya.
Noorsy, mantan anggota DPR yang dikenal kritis itu, menegaskan kembali, ada juga pihak yang berupaya mengganjal pembentukan BPP itu.
Yakni, kekuatan asing yang tak mau kehilangan kendalinya atas Indonesia.
Noorsy lantas menuturkan ketika menjadi anggota DPR periode 1997-1999 dan melontarkan gagasan pembentukan institusi pajak yang berdiri sendiri. Ternyata ide itu juga kandas.
Menurutnya, jika BPP berdiri, maka kepentingan asing butuh sumber daya lebih untuk mendikte Indonesia.
“Itu membuat pihak asing, dan pihak-pihak tertentu yang biasa membuat ‘kerja sama’ dengan pihak asing, menjadi tidak nyaman andaikata BPP itu disahkan,” tegasnya.
Bagaimana dengan alasan Sri Mulyani yang berdalih masih mencari format yang paling pas soal BPP? “Itu alasan yang sudah lama dicari-cari,” ujar pria yang pernah mencuatkan skandal cessie Bank Bali itu.
Ditegaskan kembali, reformasi perpajakan takkan bermakna sebenarnya bila pembentukan BPP tak direalisasikan. Sebab akan selalu terjadi konflik kepentingan dengan Direktorat Jenderal Anggaran.
Bila BPP didirikan, dia optimis permasalahan yang dihadapi Negara dalam mengumpulkan pendapatan pajak, akan banyak yang terselesaikan.
"Tak ada reformasi perpajakan jika tidak mewujudkan BPP. Kebutuhan menjadikan BPP semakin terasa saat APBN shortage di penerimaan seperti saat ini," Ichsanuddin Noorsy menegaskan kembali.