DPR: Aturan Baru Penyertaan Modal Negara di BUMN Melanggar UU
"Kami telah mengundang pakar dan bersepakat bahwa PP 72 melampaui kewenangan sudah diatur oleh Undang-undang. Ini masalah serius," kata Azman
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VI DPR RI akan memanggil Menteri BUMN yang akan diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, pekan ini untuk dimintai penjelasan terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016.
PP ini mengubah PP lama, yakni Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dan menjadi kontroversi karena membuka peluang pelepasan aset BUMN kepada pihak ketiga, tanpa harus meminta persetujuan lebih dulu ke DPR.
Wakil Ketua Komisi VI Azam Azman Natawijana menegaskan lahirnya PP 72 tersebut menabrak UU yang sudah ada dan menjadi masalah yang serius. PP 72 harus dibenahi atau dibatalkan jika tidak ingin yang menjalakannya terkena sanksi.
"Kami telah mengundang pakar dan bersepakat bahwa PP 72 melampaui kewenangan sudah diatur oleh Undang-undang. Ini masalah serius," kata Azman, Senin (23/1/2017).
Aturan tersebut kata Azam membahayakan aset negara. Pasalnya saham BUMN yang dimiliki negara bisa dijual ke swasta lokal ataupun asing, tanpa bisa dipantau DPR.
Menurut Azam, apa yang diamanatkan oleh UU terkait dengan kekayaan negara dan BUMN harus dipatuhi. Jikalau ada aturan terbaru yang dikeluarkan menyalahi UU dan aturan lainnya maka tidak sah.
"Kita sudah agendakan pertemuan dengan pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN yang diwakilkan oleh Menteri Keuangan pekan ini," papar Azman.
Sebagai catatan, PP 72 tersebut merupakan revisi dari PP Nomor 44 Tahun 2005. Dalam PP 72 tersebut, tertulis di Pasal 2A yakni:
(1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.