'DP' Rumah 0 Persen Dianggap Hal yang Mustahil
Pemerintah pusat menganggap gagasan uang muka atau down payment (DP) rumah 0 persen di Jakarta sebagai sebuah hal yang mustahil
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah pusat menganggap gagasan uang muka atau down payment (DP) rumah 0 persen di Jakarta sebagai sebuah hal yang mustahil bisa dilaksanakan.
Gagasan itu disampaikan oleh calon gubernur (cagub) DKI Jakarta nomor urut tiga Anies Baswedan dalam debat Jumat (27/1/2017) silam.
"Hampir tidak mungkin," ucap Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Maurin Sitorus, dalam pesan singkatnya kepada KompasProperti, Sabtu (28/1/2017).
Menurut Maurin, uang muka itu merupakan hal yang diperlukan dalam urusan pembiayaan atau pembelian rumah.
Uang muka diperlukan sebagai kepemilikan dan tanggung jawab debitur atas kredit pemilikan rumah (KPR).
Semakin tinggi uang muka, maka semakin kecil KPR tersebut bermasalah atau macet.
"Uang muka 0, kemungkinan KPR bermasalah akan tinggi dan tentu hal tersebut tidak baik bagi bank pemberi KPR dan juga terhadap perekonomian nasional," imbuh Maurin.
Sebelumnya, hal yang sama juga diutarakan oleh pengembang properti. Pengembang menilai program tersebut bisa saja dilaksanakan apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberikan bantuan (subsidi) sangat besar.
"Mungkin saja kalau pemprov mau menalangi ke developer tapi sekarang permasalahannya untuk di Jakarta ini sudah tidak memungkinkan bangun landed house lagi," kata Direktur PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio, kepada KompasProperti, Jumat (27/1/2016).
Lebih lanjut Wahyu mengatakan, jika memang program tersebut bakal direalisasikan maka yang paling memungkinkan adalah membangun high rise atau hunian vertikal.
Itu artinya, jika ada insentif maka pemerintah tidak bisa memberikan bantuan per unit tetapi langsung untuk satu menara hunian vertikal.
Selain itu, menurut Wahyu, dengan alokasi APBD 2017 DKI Jakarta saat ini agak sulit merealisasikan program DP 0 persen tersebut karena lebih prioritas untuk pembangunan infrastruktur dan sarana publik.
"Rasanya tidak memungkinkan, kecuali prioritas diubah. Risikonya proyek infrastruktur yang sedang dibangun akan tersendat dan semakin lama penyelesaiannya," tutup Wahyu.(Ridwan Aji Pitoko)