Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Penjelasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Soal Sertifikasi SVLK-FSC
Menurut Ida Bagus, adanya dua sertifikasi tersebut untuk menjaga kelestarian hutan dan mencegah penebangan kayu secara ilegal.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Pertama berharap dua sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan "Forest Stewardship Council" saling melengkapi.
Menurut Ida Bagus, adanya dua sertifikasi tersebut untuk menjaga kelestarian hutan dan mencegah penebangan kayu secara ilegal.
"Dua sertifikasi itu sama-sama bagus untuk menjaga hutan tetap lestari," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Pertama dalam "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" di Yogyakarta, Senin (6/2/2017)
Hanya saja, sambung Ida Bagus, meski memiliki tujuan yang sama, namun keduanya memiliki posisi yang berbeda.
Jika SVLK bersifat wajib atau mandatory bagi bagi unit manajemen hutan maupun unit industri berbahan dasar kayu, sertifikat FSC bersifat sukarela tergantung dengan permintaan pasar.
"Jadi misal sudah memiliki FSC tetap wajib memiliki SVLK," kata dia.
Sebaliknya,bagi industri mebel atau kerajinan kayu yang telah memiliki sertifikat SVLK agar tidak dipersulit saat ingin mengurus sertifikat FSC.
"Kami berharap terhadap yang akan mengurus FSC, kalau sudah memiliki SVLK jangan sampai dianggap `nol` karena SVLK justru yang telah diakui oleh pemerintah Uni Eropa," kata dia.
Pembahasan Indonesia Stakeholders Meeting FSC
Hartono Prabowo, Forest Stewardship Council (FSC) Indonesia Representative, mengatakan, sinkronisasi atau titik temu skema pengurusan SVLK dengan FSC memang menjadi bahasan tersendiri dalam "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" yang berlangsung di Yogyakarta hingga 10 Februari 2017 itu.
Hartono mengakui FSC memang menerapkan standar yang lebih ketat, dibanding SVLK.
Menurut dia, FSC yang paling banyak diminati oleh pembeli dari Eropa sebaiknya tidak dipandang semata-mata sebagai persyaratan untuk menembus pasar melainkan harus ditujukan untuk kelestarian alama dan keberlanjutan produksi kayu di masa mendatang.
"Sekarang skemanya masih akan kami bahas bersama agar dua sertifikat ini tidak dianggap memberatkan para pelaku industri kayu," kata dia seperti dilansir Antara.
Menurut dia, selain menyamakan skema pengurusan dua sertifikasi itu, penyelenggaraan "Indonesia Stakeholders Meeting FSC" juga untuk membuka peluang memberikan sertifikasi bagi lebih banyak industri dengan produk berbasis hutan di Indonesia.