Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengusaha Keramik Keluhkan Tingginya Harga Gas Industri

Dibandingkan negara-negara lain yang memproduksi keramik dengan kapasitas besar seperti di Eropa, harga gas di Indonesia terlalu mahal.

Editor: Sanusi
zoom-in Pengusaha Keramik Keluhkan Tingginya Harga Gas Industri
TRIBUNNEWS/SENO
Konferensi pers Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) menyikapi harga gas industri yang mahal di Jakarta, Rabu (8/3/2017). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dibandingkan negara-negara lain yang memproduksi keramik dengan kapasitas besar seperti di Eropa, harga gas di Indonesia dianggap terlalu mahal.

Di Eropa, keramik merupakan industri uggulan sehingga gas sangat murah, yaitu sekitar 3 dollar AS per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU).

"Kita di indonesia, saat ini ada 3 harga variasi berdasarkan pembatasan wilayah. Di Jawa bagian barat 9,15 dollar AS, di Jawa bagian timur, 8,03 dollar AS," ujar Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, pekan lalu.




Ia berharap, harga gas di Jawa bagian barat dan bagian timur bisa disamakan tapi dengan harga tetap rendah seperti sekarang.

Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, sudah diputuskan penurunan harga gas yang sebelumnya 12 dollar menjadi 9,8 dollar per MMBTU.

Meski demikian, sebenarnya para pelaku industri di Medan mengharapkan penurunan harga menjadi 9 dollar per MMBTU.

"Kami berharap sekali, karena 35 persen biaya produksi itu tergantung dari energi gas. Mampu ngga kita berjalan dengan harga segitu? Mampu, tapi daya saing tidak baik," kata Elisa.

BERITA TERKAIT

Lebih lanjut, ia menambahkan, para pelaku industri keramik tidak meminta harga gas yang murah, tetapi lebih kepada harga yang berdaya saing.

Sebagai contoh, antara Medan dengan Malaysia, ketimpangan harga gas terlalu jauh. Di Malaysia, harga gas hanya 6 dollar per MMBTU.

Sementara di Medan, harga gas sebelum turun bisa 12 dollar per MMBTU. Elisa mempertanyakan bagaimana industri keramik bisa berdaya saing jika biaya produksi saja sudah tinggi.

"Mengapa kita tidak mau turunkan di tengah kondisi ingin ekspor, tapi kemampuan daya saing rendah, salah satunya harga energi yang demikian mahalnya," sebut Elisa.(Arimbi Ramadhiani)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas