Perekonomian Belum Melaju, Tetapi Bahana TCW Tetap Optimistis
Jika di telusuri lagi, terlihat bahwa inflasi akibat harga-harga yang diatur oleh pemerintah naik paling tinggi.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perekonomian Indonesia sudah membaik dibandingkan dengan tahun lalu, tetapi masih ada hal-hal yang membuatnya tidak dapat melesat kencang seperti yang diharapkan. Setidaknya, ada beberapa hal yang membebani laju perekonomian, baik dari dalam dan luar negeri.
Tantangan internal yang terjadi antara lain adalah daya beli yang menurun. Penurunan ini disebabkan karena penurunan harga komoditas, kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah dan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Di pasar komoditas, harga minyak tertekan karena kelebihan pasokan. Penurunan harga minyak juga memperngaruhi harga karet alam. Permintaan komoditas lain yaitu minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) dari China menurun, sehingga membuat harganya yang sudah perlahan naik pun menjadi tertahan bahkan cenderung turun. Penurunan harga komoditas ini berdampak pada pendapatan masyarakat.
Inflasi pada paruh pertama tahun ini tercatat sebesar 2,38%. Jika di telusuri lagi, terlihat bahwa inflasi akibat harga-harga yang diatur oleh pemerintah (administered inflation) naik paling tinggi.
Sejak awal tahun hingga akhir Juni lalu, administered inflation naik 7,8%, paling tinggi di antara pembentuk inflasi lainnya. Hal yang termasuk administered inflation antara lain adalah harga listrik, harga bahan bakar dan harga gas. Inflasi kedua tertinggi adalah rumah, sebesar 4,24% dan transportasi serta komunikasi sebesar 4,2%.
“Ketika harga-harga yang ditetapkan pemerintah naik, orang cenderung akan mengurangi pemakaiannya, atau memangkas pos pengeluaran lain. Sehingga, bisa jadi masyarakat jadi menunda pembelian baju,” ujar Budi Hikmat Director Investor Relation and Chief Economist Bahana TCW Investment Managementdalam keterangan tertulisnya Rabu, (26/7/2017).
Kenaikan harga yang dibarengi pula dengan penurunan harga komoditas membuat masyarakat menahan diri untuk tidak terlalu banyak berbelanja. Pola belanja pun sudah berubah. Konsumen tidak lagi datang ke toko, melainkan lebih senang berbelanja secara on-line.
Menurut Budi, pemerintah menyadari keadaan tersebut. Pada revisi RAPBN, pemerintah menambah subsidi dan berkomitmen untuk tidak menaikan harga lagi.
Selain itu, pemerintah juga mengajukan defisit anggaran yang lebih besar agar dapat memberikan stimulus terhadap pertumbuhan. Tidak hanya pemerintah, Bank Indonesia pun memberikan fasilitas ekspor yang beragam.
“Dampaknya, proyeksi indeks agak turun, naik 16,6% menjadi 6.174 dari 17,67%,” kata Budi lagi. Bahana TCW tetap optimistis dengan perkembangan pasar saham dan obligasi hingga akhir tahun nanti.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mencapai 5,1%, dengan laju inflasi 4,3% dan rata-rata kurs rupiah terhadap dolar AS pada Rp 13.450. Setelah pemeringkat S&P memberikan kenaikan peringkat Mei lalu, diperkirakan para investor institusi asing yang konservatif masih terus masuk ke pasar obligasi dan membuat harga obligasi meningkat.
Faktor luar
Selain faktor dalam negeri, ada pula faktor dari luar negeri yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia yaitu langkah yang diambil oleh bank sentral AS Federal Reserve. Pada risalah pertemuan Juni lalu, disebutkan rencana bahwa Fed akan mengurangi asetnya sebesar 10 miliar dolar AS dan menaikkan suku bunga. Pengurangan aset bank sentral tersebut seiring dengan membaiknya perekonomian AS. Beberapa indikator memang menunjukkan perbaikan seperti indeks kepercayaan konsumen yang membaik, indeks perumahan yang naik, juga data ketersediaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.”Tetapi konsensus menyatakan bahwa Fed akan menaikkan bunganya secara bertahap,” kata Budi lagi.
Kenaikan bunga Fed kali ini diperkirakan juga tidak akan direspon negatif dan memberikan dampak negatif kepada perekonomian Indonesia. Situasi saat ini berbeda sekali dengan situasi ketika mantan Gubernur Fed Bernanke mengumumkan Fed akan mengurangi belanja obligasinya (tapering off). Current account deficit cukup besar ketika Bernanke mengumumkan langkah Fed tersebut pada Mei 2013 lalu, terjadi peralihan aset dari negara berkembang dan membuat saham, obligasi, rupiah melemah.
Keadaan berbeda pada tahun ini. Fundamental Indonesia lebih kuat, cadangan devisa sempat mencapai rekor pada Mei lalu. Sehingga rencana-rencana Fed pun tidak terlalu berdampak traumatis terhadap pasar keuangan di dalam negeri. Nilai tukar rupiah misalnya, hanya mendatar saja. Indeks saham gabungan pun hanya bergerak turun 0,4%, demikian pula dengan yield Surat Utang Negara bertenor 10 tahun, hanya naik 10 basis poin saja. “Sehingga kebijakan kenaikan suku bunga Fed memang memengaruhi, tetapi tidak traumatis seperti ketika ada pergantian arah kebijakan Fed pada masa Bernanke,” kata Budi lagi.