Kisah Sanawi, Kuli Bangunan Tak Lulus SD yang Sukses Menjadi Pengusaha Beromzet Rp 1,5 M Per Bulan
Dalam menapaki kesuksesannya, Sanawi berpegang pada prinsip bahwa sukses dapat dicapai siapa saja yang mau terus berusaha dan percaya diri.
Editor: Hasanudin Aco
“Targetnya seluruh Indonesia,” kata pria kelahiran 10 Oktober 1974 ini.
Sanawi selalu memberi pelatihan usaha es krim terlebih dahulu pada para calon mitranya. Ia membagi pengalaman bagaimana sukses berjualan. “Saya tak ingin orang yang menjadi mitra saya tak berkembang,” tuturnya. Karena itu, ia terus memantau penjualan.
Tak puas di bisnis es krim, Sanawi juga merambah ke bisnis minimarket. Ia memiliki dua minimarket di Samarinda dan Palangkaraya. Namun, karena keuntungannya tipis, ia berniat menutup salah satu minimarket itu. Ia juga mengembangkan sayap bisnisnya di jasa penyewaan kontainer dan pengolahan bebek serta ayam beku.
Semua bisnis itu dilabeli dengan merek Vanesa. Awalnya, Sanawi memakai merek Vania. Tapi, karena sudah ada yang mematenkan, ia ganti nama. “Vane” berasal dari nama anaknya dan “sa” singkatan Sanawi. Merek itu ia patenkan dua tahun lalu.
Selain sebagai distributor es krim merek terkenal, Sanawi juga memproduksi es krim sendiri. Dia sempat ditegur salah satu produsen es krim pemasok. Tapi ia tetap membuat es krim sendiri, meski kontribusinya masih kecil. “Saya bilang, kepengin kaya juga saya dari jualan es krim,” ujarnya tertawa.
Saat ini, Sanawi punya pabrik es krim di Kudus, Jawa Tengah. Ia juga memproduksi cone. Dalam sehari, pabriknya bisa memproduksi 40.000 cone. Dalam sebulan, ia dapat menjual hingga 9.000 ember es krim dengan omzet miliaran rupiah.
Keberhasilan mengembangkan aneka bisnis tak membuat Sanawi merasa sudah mencapai puncak kesuksesan. Ia menganggap keberhasilan ini tak lepas dari upaya mengatasi tantangan, termasuk keterbatasan yang dia miliki.
Salah satu tantangan pelik saat Sanawi mulai mengembangkan bisnis adalah masalah administrasi. Ia mengaku ketakutan jika dihadapkan dengan surat bermaterai. Maklum, di bisnis jasa penyewaan kontainer, ia mau tak mau harus berhadapan dengan surat perjanjian, entah penyewaan maupun pembelian.
Repotnya, dengan pendidikan yang cuma sampai kelas satu sekolah dasar, pengetahuannya juga terbatas. Asal tahu saja, ia buta huruf sampai usianya menginjak 35 tahun. Karena alasan itulah, ia kerap memanggil sahabatnya yang lebih paham soal perjanjian apabila ia dihadapkan pada surat bermaterai.
Baru pada 2010, Sanawi meminta anaknya untuk mengajari membaca dan menulis. “Teman-teman saya suka menakuti. Kata mereka, kalau ada materai harus waspada. Soalnya, takut ditipu terus bisa masuk penjara,” katanya tergelak.
Belajar dari pengalamannya, Sanawi memandang bahwa pendidikan itu sangat penting. Menurutnya, jika tidak lulus sekolah dasar saja bisa meraih kesuksesan, apalagi jika ia berhasil lulus sekolah. Pasti keberhasilannya jauh lebih besar.
Sanawi menunjukkan, selain kemauan, keberhasilan bisnis itu juga perlu modal dari keyakinan diri sendiri. Dari pengalamannya selama ini, ia yakin, usaha tak akan mengkhianati hasilnya.
“Orang mau sukses itu ada empat kuncinya: URIP, yakni Usaha, Rukun, Iman, dan Percaya diri. Tetapi, kita juga tetap harus menerima masukan dari orang lain,” tuturnya.